X Class 007

Adinda Amalia
Chapter #2

02: Dia yang Tersembunyi

“Perangkat kelas sementara baru ada ketua ya, wakil dan sisanya kita bahas besok aja. Sekarang tentang jadwal piket, ada masukan?”

Aku mengangkat tangan, menarik perhatian Litan dan mungkin siswa lain. “Kita cuma ada tujuh, jadi gak mungkin kalo masing-masing dapat jatah piket sekali seminggu. Saran gue, kita bagi dua tim, satu berisi tiga, satunya—”

“Enggak,” Litan menyela, “jangan ada tim. Itu gak solid.” 

 Aku jadi bungkam, lalu mengangguk kecil. 

Litan mengedar pandangan ke semua siswa bergantian. “Ada masukan lain?”

“Gue gak mau senin.”

Litan tak langsung merespons. Meski begitu, aku tahu aura pemuda itu seketika tak menyenangkan. Seakan-akan AC tak lagi berfungsi. Aku melirik sekilas ke sumber suara, Ogya bahkan tanpa menggeser pandangan dari buku sedikit pun.

“Kenapa gak mau?” Hapi dengan polosnya penasaran.

Ogya akhirnya menoleh, menuju lelaki menggemaskan itu. “Karena hampir gak ada jaminan rekan piket gue bakal datang tepat waktu, adanya gue piket sendirian.” Dia tersenyum miring. “Hapi, lu juga mau menghindari hari senin?”

Hapi bergumam panjang. “Cukup masuk akal sih.”

“Jangan, Hapi,” Litan menarik perhatian si lelaki menggemaskan. “Kalo gak ada alasan mendesak, lebih baik lu harus bisa nerima piket di hari apa pun.”

Hapi mengangguk paham. “Kalo gitu boleh.”

“Senin itu ngeselin …,” Ogya melirik tajam pada Litan sesaat, lantas beralih ke Hapi dengan tatapan bersahabat, “Iya gak?”

Aku nyaris bangkit dari kursi dan menarik kerah kemeja Ogya sebelum melemparnya keluar jendela, bila tidak ingat harus menahan diri. Akhirnya hanya mendengus dan memegang tepian meja.

“Mungkin saja.” Hapi tampak menimbang-nimbang.

“Semua hari itu sama!” Litan menegaskan bicara.

Ogya tertawa kecil, jelas sekali terkesan meremehkan.

Kesan pertamaku pada Ogya sudah tidak enak. Malah diperparah dengan sikap lelaki itu. Aku melirik Litan sekilas. Syukur dia diam saja sehingga tak memancing Ogya berceloteh kian panjang. 

“Pikirin dulu sampai matang, baru dibahas lagi.”

Terdengar sayup-sayup suara lelaki itu barusan, diikuti Litan mengiyakan pelan. Aku tak memperhatikan lebih jauh karena sibuk menenangkan diri. Semoga saja Ogya tak bicara atau amarahku akan melonjak drastis.

Litan menghela, lantas berkacak pinggang. “Teman-teman, gini—”

Pemuda itu terhenti saat seseorang mendadak berdiri. Paras khas bule yang putih, bermata biru, tinggi, dan surai agak pirang, mudah diingat. Namun aku tak tahu namanya karena kurang memperhatikan saat dia perkenalan. “Gue gak mau piket!”

“Nyebur ke sungai aja lu!” Aku spontan memekik, emosi sudah tak terkendali lagi. Masa bodoh seisi kelas menatap kemari, terheran-heran. Salah siapa punya teman sekelas model begini. “Nyerah lah mending, mana bisa solid ini?”

Litan mengulum bibir, kemudian menarik napas berat. “Baru sehari, Kay ….”

Aku tak paham mengapa Pak Irawan selaku kepala sekolah SMA Jagadhita, membuat program X Class. Memang luar biasa, bermaksud ingin membuktikan bahwa solidaritas itu tiada mustahil. Namun, bila begini caranya, lebih cocok disebut percobaan neraka.


Keesokannya, beberapa sebelum bel berbunyi, Litan berdiri di depan kelas. Melanjutkan diskusi kemarin. Kemudian dengan cepat mendapat hasil. “Semua piket setiap hari, gak ada aturan siapa bagian ini itu, langsung kerjain aja apa yang belum beres. Setuju?”

Empat suara mengiyakan, serta tak ada sanggahan. Lihan melangkah dari depan kelas, lantas berdiri di depan mejaku. Dia belum berkata apa pun, aku menyahut lebih dulu, “Lu serius?”

Litan menunduk sesaat. “Gue tahu pasti ada yang gak piket setiap hari. Gue bakal bimbing pelan-pelan sampai semua ngerti dan belajar gimana caranya biar semua bisa saling bantu.”

“Itu bakal susah.”

Lihat selengkapnya