“Kenapa, kok lu kaget?”
Dia entengnya berkata seperti itu, sedangkan aku membeku di ambang pintu. Cobaan macam apa ini? Kemustahilan yang terjadi, tiba-tiba satu kelas dengan senior sekaligus … mantan pacar. “Gue gak sadar kalo ada nama lu, Huande.”
Aku membuka pintu satunya, kemudian melewati dan memasuki kelas begitu saja. Sayup-sayup terdengar Huande memanggilku. Namun, sengaja abai. Bergegas duduk di bangku, berlagak sibuk dengan buku.
Huande masih sedikit terlihat di ujung sudut panjang dan sialnya perhatian malah selalu saja tertarik ke sana. Aku mendengus, kemudian mengubah posisi duduk menjadi membungkuk. Menopang dahi di meja, meletakkan buku tepat di depan wajah.
Tiada lagi yang bisa kulihat selain dua halaman buku terbuka dan deretan tulisan. Namun, semua belum berakhir. Telinga bak di luar kendali, tiba-tiba saja fokus ke suara langkah kaki. Parahnya, secara otomatis aku mengetahui siapa gerangan itu.
Huande.
Mendengus, lantas menjatuhkan buku begitu saja ke atas kepala. Rasanya mendadak pusing dan dada menjadi sesak. “Apaan sih ini ….”
Sudah hampir setahun kami berpisah, mengapa masih saja hafal dengan detail-detail kecil pemuda itu? Ini menyebalkan! Aku bukan budak cinta!
Beberapa waktu lalu—saat kami berdua bertemu di pintu, aku sengaja bergegas berjalan ke bangku karena tak ingin banyak berinteraksi dengan pemuda itu. Maksudnya, agar cepat lupa dan tak kepikiran.
Namun, tetap saja.
Aku menghela napas. Menegakkan tubuh, lalu duduk menyandar kursi empuk. Memejamkan mata, berharap perasaanku bisa membaik—stabil kembali.
Rasanya jadi menyesal karena aku beberapa kali mengabaikan teman sekelas karena sibuk sendiri. Andai saja saat perkenalan, aku memperhatikannya. Sekarang tak akan terkejut sampai seperti ini.
Kok gue sih?
Saat pembentukan perangkat kelas, aku seharusnya lebih peka. Ada sesuatu yang terasa berbeda saat kalimat tersebut diucap oleh seseorang. Semula tidak peduli siapa gerangan. Padahal, sesungguhnya aku sangat tahu. Huande.
Bahkan pagi tadi, bila saja aku memperhatikan daftar nama siswa X Class yang ditunjukkan Pak Ramu di layar monitor. Nama pemuda itu terpampang di sana.
Aku mengenyit saat suara benda bertubrukan terdengar dari belakang. Spontan menoleh, kemudian tiba-tiba mematung. Tak habis pikir dengan apa yang ada di depan mata.
Entah bagaimana struktur otak lelaki itu. Bisa-bisanya memanfaatkan bagian belakang kelas yang super lebar dengan sangat jenius. Dia baru saja melempar bola boling, tepat sasaran menjatuhkan delapan pin.
“Sejak kapan lu bawa mainan itu, Juis?”
“Pagi tadi. Lu baru tahu, ‘kan?” Dia tertawa meremehkan, terdengar menyebalkan sekali.
“Tangkap!”
Aku nyaris mengumat saat salah satu pin boling mendadak terlempar kencang ke arahku. Meleset lima belas sentimeter dari pipi. Sementara Hapi—di pelaku yang terdiri tak jauh dari Juis—malah terkekeh bak tanpa dosa.
“Lemparan lu lumayan kuat juga, Nak.”
Sensasi detak jantung melonjak, seperti beberapa waktu lalu, menguasai lagi. Aku mengenal pasti suara tersebut. Belum pernah berubah. Lembut dan tenang, bagai awan yang memeluk seluruh bumi agar teduh.
“Lain kali hati-hati.”
Sejak kapan pemuda itu berada di belakangku? Tak tahu kah bila dengan tiba-tiba berada di situ saja sudah membuat hati ini meleleh sampai hampir menguap? Tolong jangan menunjukkan pose menawan, kumohon!
Parahnya lagi, aku bisa merasakan bila Huande menatapku dari belakang—energinya terasa sekali. Sekeras mungkin berusaha mengabaikan, mengalihkan perhatian ke Hapi. “Bener tuh, jangan sembarangan lempar-lempar.”
“Maaf.” Hapi cemberut.
Aku langsung agak membuang muka saat Huanda berjalan di sampingku untuk menghampiri Hapi, mengembalikan pin boling. Sesaat kemudian, aku buru-buru mengambil buku lagi, berlagak sibuk.
Hari ini seolah AC tidak mengarah kemari. Sekujur tubuh terasa memanas. Keringat dingin bercucur. Bila demam panggung disebut senam jantung, mungkin situasi saat ini cocok dianggap senam hati.
Ambyar aja sekalian, biar mampus aku!