Beberapa hari belakangan ini, terasa bagai surganya neraka. Begini, aku tak suka getaran dalam dada dan rasa ingin meleleh tiap kali Juis mendekat. Di sisi lain, kehadiran lelaki itu tanpa henti membuatku tertawa dalam hati—dari luar tampak cuek, jujur hal itu memang menyenangkan.
“Yang, dahi lu masih sakit?” Juis sudah muncul lagi setelah 0,005 detik menghilang.
Aku menahan tangan Juis sebelum menyentuh dahiku, kemudian menjauhkannya sambil memaksa senyum. “Gue gak apa-apa. Jadi, balik ke bangku lu … sekarang!”
Juis menggeleng. Lantas buru-buru berucap setelah menyadari sesuatu, “Oh, rambut lu baru?”
Aku agak terkejut Juis menyadarinya. Memang sengaja kupotong poni menjadi lebih pendek agar bisa jatuh ke depan. “Buat nutupi dahi, tahu! Bunda bisa marah kalo ngeliat gue ada memar.”
Juis langsung terdiam, reaksi sama tiap kali aku sengaja—maupun tidak—menyinggung tentang pukulannya yang melukaiku. Dia melirihkan bicara. “Lain kali gue lebih hati-hati, maaf.”
“Lain kali, gak usah berantem lagi.” Aku tak berucap kencang-kencang, tetapi terdengar tegas.
Juis langsung terlihat kesal. Dia mengalihkan pandangan dariku. Sorot mata tajamnya, seperti ketika menatap siswa Kelas Bahasa itu, kembali lagi.
Entah apa yang ada di pikiran Juis. Jika dia memang ada masalah, dia bisa membicarakan baik-baik tanpa beradu pukulan. Aku mendengus, lantas berujar pelan, “Cepetan, balik sana.”
Semula, Juis sekadar melirikku. Saat paras sudah kembali santai, baru dia menatap kemari sepenuhnya. Tentu dengan senyuman yang dengan anehnya bisa memberiku efek campur aduk. “Yang—”
“Balik, gak?” Aku seketika menaikkan nada suara, berlagak galak.
Juis tersentak, kemudian mengerucutkan bibir.
Seketika aku menahan napas. Lagi, senjata diam-diam Juis yang sanggup menghancurkanku kapan saja. Mengapa dia sangat menggemaskan, bahkan ketika ngambek? Ayolah, aku tidak ingin bermain hati!
“Iya deh ….”
Aku mendengus sesaat setelah lelaki itu pergi. Menjauhkan punggung ke sandaran kursi dengan kasar. Merutuki diri sendiri karena sekarang tiba-tiba merasa sepi. Iya, ketika tak ada Juis, entah mengapa aku selalu merasa bahwa dunia seketika membosankan.
Jemariku menggenggam. Aku harus menerima ini atau peristiwa dulu bisa saja terulang, meski bersama orang yang berbeda, Juis.
Membungkuk guna meletakkan siku di atas meja, aku menutup wajah menggunakan tangan. Menghela napas. Dasar … aku seharusnya lebih kuat. Namun, apa nyatanya, hanya dengan begini sudah mulai sedikit goyah?
Menyedihkan, diri ini.
Kumohon … aku tidak ingin mengecewakan siapa pun lagi.
“Yang!”
Aku terlonjak. Spontan menatap ke sumber suara dengan mulut terbuka lebar. Mendapati Juis telah berada di depan mejaku—lagi dan lagi sampai sudah tak terhitung berada kali—dengan senyum sumringah tanpa berdosa. Aku sedikit memekik, “Kenapa?”
“Itu tugas kalian, dikumpulkan minggu depan. Ingat, berkelompok.” Pak Ramu menekankan kata terakhir. “Kalian ini satu kelompok. Jadi, bekerjasamalah. Mengerti, Nak?”
“Paham, Pak!”
Pak Ramu tersenyum, mengucap salam, kemudian meninggalkan kelas. Tepat saat bel istirahat kedua berbunyi.
Litan bergegas bangkit dari kursi, pergi ke sebelah meja guru. “Temen-temen, jangan pergi dari kelas dulu. Gue mohon.” Dia menatap Ogya yang jelas sekali telah bersiap dengan uang di sakunya. Terlebih, Ogya selama ini jarang menurut pada sang ketua kelas.
“Kali ini gue dengerin.” Ogya duduk rapi kembali, membuatku bernapas lega. “Cepetan, habis ini gue ada kelas bimbingan OSN.”
Oh, benar juga. Ogya ini langganan olimpiade fisika. Mulai dari tingkat nasional sampai ajang-ajang yang diselenggarakan perguruan tinggi, dia memborong semua piala. Sepertinya, seseorang yang bisa menyaingi Ogya hanyalah Lyanbane—aku kerap dengar dia dipanggil Yaya—anggota Excellent.
“Tentang tugas yang dikasih Pak Ramu. Karena kita bekerja sama, pengerjaan dibagi sesuai siswa di kelas.” Litan menarik perhatianku kembali padanya. Dia mencoret-coret layar monitor menggunakan pen khusus. “Ada tiga bagian.”
Litan terus menerangkan. Dalam tugas itu, kami perlu menjelaskan macam-macam interaksi sosial, contoh konkret di masyarakat, dan dampak baik maupun buruk—beserta cara meminimalisirnya.
“Satu bagian dikerjakan dua orang. Nanti masalah gabungin materi ke makalah, biar gue aja. Sekarang, siapa yang mengajukan diri, mau ambil mana?”