Agenda hari ini adalah pengumpulan tugas kelompok. Setelah Litan menyetor makalah ke Pak Ramu, kami diberi waktu kosong hingga jam pelajaran beliau habis. Daripada sia-sia, Litan memanfaatkan kesempatan untuk berdiskusi.
Litan berdiri di depan kelas. “Kalian tahu, bentar lagi kelas sepuluh ada kunjungan wisata edukasi. Ada satu destinasi yang menurut gue menarik, kita bisa minta izin ikut dan pergi ke sana buat membuktikan kalo X Class bisa solid.”
Litan menjelaskan lebih lanjut. Di tempat tersebut, ada tujuh tombol—masing-masing berjarak seratus meter—bila dihubungkan, kurang lebih membentuk lingkaran. Jika ditekan bersamaan, akan muncul atraksi air mancur dan kembang api.
Litan menunjukkan foto-foto destinasi tersebut melalui layar monitor. “Itu ada di Taman Kota. Gue pengen kita bisa melakukannya. Semua setuju, ‘kan?”
“Tapi …,” aku mengerutkan alis, “kita di sini aja baru berenam. Gak tahu yang satu ke mana. Gimana kalo dia masih belum masuk sekolah sampai hari-H kunjungan wisata edukasi?”
“Tenang aja dulu. Gue yakin, dia pasti datang.” Litan menyandar dinding, tepat di sebelah monitor. Memandang teman-teman bergantian, seperti menunggu pendapat mereka.
Ngomong-ngomong tentang si siswa tersembunyi, aku tak bisa tenang seperti ucapan Litan. Pasalnya, belum sempat juga mencari tahu tentangnya di Bagian Kesiswaan. Sekarang, bila ingin rencana solid Litan itu berhasil, maka aku harus menyempatkan diri.
“Gue gak bisa.” Kalimat Ogya mengalihkan perhatianku. Semua siswa lain di kelas juga ikut menoleh padanya. “Gue ada janji nongkrong sama temen pas kunjungan wisata edukasi.”
Itu aneh, dia pasti mengada-ada. Hari keberangkatan kunjungan wisata edukasi bukan di akhir pekan. Selain kelas sepuluh—dan siswa X Class bila kita setuju ikut serta—tetap berada di sekolah untuk mengikuti pembelajaran seperti biasa.
Aku kian tak habis pikir dengan tujuan asli Ogya berkata seperti itu, ketika dia memperlihatkan jelas sebuah senyum miring.
Litan tampak serius, kini memandang Ogya tanpa beralih. “Maksud lu apaan?” Nada bicaranya hampir terdengar seperti orang menantang. “Ya udah, kalo gitu lu bisa kasih masukan apa biar kita bisa solid?”
“Kenapa harus gue yang mikir, lu kan ketuanya,” ujar Ogya santai, mengubah posisi duduk agar menyandar.
“Jangan nolak pendapat orang lain kalo lu gak punya saran.” Litan meletakkan sebelah tangan di pinggiran meja guru. Parasnya kian mengerikan. Ditambah aura mencekam yang memancar.
Ogya tak goyah sedikit pun. Dia terdiam sesaat. Melirik kiri, pada empat siswa di bangku masing-masing. Lantas kembali ke Litan. “Emang yang lain sudah setuju semua?”
“Gue rasa ide Litan bagus. Jadi, kenapa enggak?” Aku berusaha menengahi. Atmosfer yang kian panas bukan penanda baik. Terlebih, Litan dan Ogya belum pernah berdebat sampai sepanjang ini sebelumnya. Memikirkan sikap Ogya, dia bisa bertindak di luar dugaan.
“Masih ada gue yang gak setuju.” Ogya menatapku—tetapi aku tak ingin merespons karena akan memperpanas keadaan. Dia beralih ke Litan kembali. “Percuma.”
“To be point aja." Sekali langkah Litan terdengar kencang, menggema seisi ruang, menggetarkan dada dengan kesan mencekam yang kian menjadi-jadi. Dia mendekat ke meja Ogya. "Gue pengen tahu kenapa lu merelakan rencana solid ini demi nongkrong sama temen?”
Ogya tak bergeming sama sekali. Malah melipat tangan di depan dada dengan santai seolah semua hanya candaan. “Karena gue lebih mentingin temen.”
Litan berdiri tepat di depan meja Ogya. Melirihkan suara seraya memandang lelaki itu kian tajam, “Siswa X Class bukan temen lu?”
“Formalitas … iya, ‘kan?” Ogya menarik perhatianku. Kalimat lelaki itu ada benarnya. Berada di kelas yang sama membuat kami seolah berteman. “Lu tahu, ya, X Class gak bakal bisa solid. Itu cuma harapan tanpa logika. Omong kosong! Mau aja lu dimainin sama sekolah!”
Ogya duduk lebih tegap, mempersingkat jarak dengan Litan. Kali ini bicaranya berubah serius, “Semua usaha lu demi memenuhi tujuan X Class … gak bakal berhasil.”