“Ini Taman Kota.” Aku membuka aplikasi maps. "Gak terlalu kelihatan sih tombolnya kalo dilihat pake foto dari kamera satelit kayak gini. Kurang lebih nanti tombol lu ada di sini." Aku menunjuk layar.
Beberapa saat lalu, Huande memindah kursinya ke depan mejaku sehingga kami berhadapan. Biar dia mengamati aplikasi maps itu lebih dulu, selagi aku menyambar cup es jeruk dan meneguknya.
Tak ada orang di kelas selain kami berdua. Juis biasanya mengekor padaku, tetapi kali ini dia ada urusan dengan Pak Hakim—biasa, palingan dia mendapat pencerahan.
Aku mengutak-atik layar ponsel, mencari foto yang menampilkan Taman Kota dari sudut pandang yang lebih dekat. "Nah, ini ada. Tombolnya kayak gitu. Pastikan nanti lu gak salah posisi. Pokok, tombol lu yang deket patung pahlawan."
Aku beralih dari foto ke tampilan satelit agar bisa melihat keseluruhan Taman Kota beserta jalan raya di sekitarnya. "Setelah bus parkir, nanti lu langsung masuk lewat pintu depan. Belok kanan di bundaran, lalu belok kiri pas ada pohon cemara sampai ketemu patung pahlawan, nah di dekat situ tombol lu."
"Gak nyoba ke sana langsung?"
Seketika aku mengurungkan niat untuk mengotak-atik aplikasi maps lagi. Jemari terdiam, begitu pun bibir enggan berucap. Dengan tatapan masih mengarah ke layar ponsel di meja, aku berusaha mengguyur air dingin ke rasa hangat yang perlahan memancar di dada.
"Gue gak bermaksud apa-apa, Kahi. Lu bilang ini demi membuktikan kalo X Class bisa solid, ya udah gue lakuin." Tatapan Huande intens, aku sanggup merasakannya meski tak melihat langsung. "Ajak juga Juis, Hapi, atau yang lain. Kita bisa percobaan dulu."
Sejak awal aku berusaha menghindari interaksi dengan Huande. Itu memang keputusan benar. "Udah jelas, 'kan? Gue mau ke kantin." Aku bangkit dari kursi, langsung beranjak meninggalkan kelas tanpa menunggu respons darinya.
Menyusuri lorong, perasaanku berangsur stabil kembali. Lepas dari Huande, menyapa taman-taman kecil di tiap halaman depan kelas hingga pepohonan rindang di sekitar lapangan utama SMA Jagadhita.
Mataku menangkap pemuda tak asing. Usai mendapatkan pesanan dari salah satu stan kantin, aku mengambil duduk di hadapannya. "Litan." Menyantap kebab sambil meletakkan cup es teh di meja.
Sudah cukup lama aku jarang berbicara dengan Litan karen Juis selalu mengekor dan menempel padaku. Seolah mengisi sembilan puluh persen kehidupanku dengan dirinya. Selagi ada kesempatan, aku ingin memperbaiki hubungan dengan Litan yang rasanya agak merenggang.
"Udah selesai urusan sama Huande?"
Aku berhenti mengunyah seketika. Terdiam sejenak, kemudian meletakkan kebab di meja dan meneguk es teh dengan agak kesal. Huk Huande Hagayuda, nama itu berputar di pikiran. Menghancurkan mood yang baru saja membaik. Bak panah tajam menusuk dada.
"Pikirin si siswa tersembunyi itu!" ujarku sewot. "Gue mau nyari tahu ke guru kesiswaan, tapi gak sempet-sempet. Lu sih nyuruh gue bantuin Huande segala, makin repot!"
Litan santai menyantap roti bakarnya. "Gak usah maksain. Gue ketua X Class, gue yang tanggung jawab. Kalo ada apa-apa tentang siswa satu itu, biar gue urus."
Aku menunduk, menyibakkan sebagian poni yang menutup dahi. Aku sungguh berharap rencana solid kami berhasil.
Pasalnya, sudah susah-susah berurusan dengan Huande—sesuatu yang tak kuingikan. Bahkan sampai bekerja keras menahan gejolak campur aduk dalam dada.
Aku terus berpura-pura seolah tak terjadi apa pun saat berbicara dengan Huande barusan. Padahal, rasanya mata sudah sangat pedih nyaris tak tahan membendung tangis.
Entah sampai kapan, Huande membekas corak dengan berbagai arti. Seperti ... kau sebenarnya bisa meluncur di seluncuran, tetapi malah memilih berpegangan pada pinggiran agar tidak jatuh.
Itu sulit. Terus ditekan oleh sesuatu yang tidak nyaman.
Bila bukan karena X Class, aku enggan meski sekadar bertegur sapa dengan Huande.
Aku mengangkat kepala kembali. Memandang pemuda di hadapan lekat-lekat. "Kenapa lu bisa tenang dan seyakin itu, tentang si siswa tersembunyi?"
"Udah gue bilang, gue yang urus." Litan melahap potongan terakhir roti bakar, kemudian menegak botol minum. Kemudian beranjak. "Gue mau koordinasi sama Pak Ramu tentang ikut sertanya kita di kunjungan. Lu bantu Huande kalo dia masih kesusahan, oke?"
Aku bisa sesak napas bila mendengar nama itu terus-menerus. Aku masih bisa menguatkan diri jika bersama Juis, tetapi Huande berbeda. Aku rindu memandangnya sebagai orang asing saat pertama kali kami bertemu.
"Bentar, Litan!" Aku tak berani berteriak terlalu kencang karena ada banyak orang di sini. Nyatanya, pemuda itu tak mendengar dan terus melangkah kian jauh.
Aku menghela napas kasar, menghabiskan sisa kebab dengan setengah hati. Bagaimana cara menghapus renggang yang tiba-tiba muncul di antara kami bila aku dan Litan terus saja sibuk dengan urusan masing-masing.
Pikiran masih terbayang-bayang tatapan dalam Litan hingga kami selesai makan di kantin. Aku beranjak dari tempat itu, menyusuri lorong sekolah selagi masih ada waktu sebelum bel masuk kelas. Litan memang sekilas baik-baik saja. Namun, entah mengapa aku justru ingin bisa semakin banyak membantunya—tentang si siswa tersembunyi.