"Yang!" Pekikan Juis dari ambang pintu kelas membuat langkahku di lorong melambat. Pikiran menjadi berantakan begitu saja. Dia pasti tak menyadari bila aku tidak membalas senyum lebarnya dengan raut serupa atau setidaknya mirip.
Aku terpaksa berhenti di ambang pintu saat Juis berkata, "Gelang lu baru?"
Aku spontan menoleh ke arah Juis, tetapi fokus membuyar. Rasa ingin menampar diri sendiri kian berkecamuk saat Huande yang melintas di sebelah, diam-diam melirik kemari.
Aku membuang muka. Tangan mengepal, gemas ingin memukul apa pun di hadapan. Andai tak bisa mengatur emosi, aku pasti sudah mengacaukan seisi kelas.
Suasana hati benar-benar kacau. Aku nyaris tak tahu alasan untuk tetap hidup. Rasanya, sosok Kahiyang sungguh memalukan. Penyesalan sedalam apa pun, bahkan hingga menggerogoti raga sampai hancur, tak akan cukup sebagai tebusan.
Padahal, pagi tadi aku tak bisa berhenti tersenyum saat membuka kotak, berisi sepasang gelang. Masing-masing terdiri dari model polos dan rantai dengan hiasan berbentuk kupu-kupu. Berwarna emas mengkilap.
"Paket ini sebenarnya dikirim sejak setahun lalu dari toko di luar negeri. Cuma, baru sampai hari ini karena ada masalah pengiriman." Bunda terlihat sumringah. Begitu pun diriku.
Namun, tiba-tiba jantungku seperti berhenti berdetak saat Bunda melanjutkan, "Siapa sangka, ini jadi hadiah terakhir yang dibeli Papa buat kalian berdua."
Kalia, adik kecilku yang cantik, berusaha mempertahankan senyumnya yang sudah sedikit turun. Sepasang mata tampak sayu. Aku tahu dia tak ingin mengingat ke mana perginya Papa saat ini, tetapi kado tersebut menjadi lebih indah karena ditinggalkan selamanya oleh sang pemberi.
"Adek bakal jaga baik-baik."
Aku memaksa sudut bibir terangkat. Hingga sekian menit kemudian kami berpamitan berangkat sekolah, baru aku melepas topeng. Raut menyedihkan jauh lebih cocok untukku.
Setelah semua perbuatanku dulu, bagaimana caranya meminta maaf pada Papa dan menerima hadiah gelang ini dengan senang hati?
"Kahi—"
"Gak usah ngomong sama gue." Aku melangkah begitu saja. Meninggalkan kelas. Sekilas Juis terlihat ingin menahanku, tetapi dia mengurungkan niat.
Aku sungguh tak ingin melihat wajah Juis, apalagi Huande. Gelang ini terus mengingatkanku pada Papa, dan membuat penyesalan menancap kian dalam. Lebih baik aku sendirian daripada mengulang peristiwa yang sama.
"De, lu udah beres, 'kan? Tahu tombolnya yang mana? Gak bingung lagi?" Litan berbicara selagi aku mencatat beberapa hal di layar monitor terkait kunjungan wisata edukasi.
Aku tak terlalu mendengar jawaban Huande. Intinya dia mengiyakan kalimat Litan, tidak ada protes atau sejenisnya lagi. Sekian detik kemudian, tanganku berhenti menulis saat pemuda itu melanjutkan dengan suara lembutnya, "Itu semua berkat Kahi."
Aku memutar tubuh, tak segan memandangnya dengan ketus. "Terus? Mau apa ngomong kayak gitu?"
Entah sejak kapan Huande meninggalkan bangku dan kini telah berada tepat di depanku. Tatapan tenang nan dalam itu menyebalkan, selalu berhasil menembus sanubariku. Membagi kehangatan yang sama seperti dulu.
Sejenak kemudian, aku mendorong Huande kasar. "Lancang lu!" Enggan lagi menerima rasa itu, karena mau jadi apa aku di hadapan Papa yang mengawasi dari langit.
Aku ingin berhenti menyesal, menebus kesalahan, dan lebih serius mengubah sikap.
Suasana kelas berubah seketika, aku bisa merasakannya. Semula masih ada satu dua yang mengobrol lirih, kini sunyi bagai dilahap kegelapan. Seluruh mata mengarah kemari, dengan pancaran kengerian.
Litan menoleh belakang, padaku. "Kay?"
Leher tercekat dan mataku terasa panas. Ini tidak mudah. Jemari menggenggam. Membalikkan badan agar tak memandang Huande lebih lama lagi.
Dampak yang diberikan pemuda itu masih sama. Aku tak bisa menghancurkan tempat istimewanya di hati, hanya dalam semalam. Yang ada, harus mati-matian menahan gejolak membara dalam batin sampai benar-benar bisa melupakan Huande.
Ini memang menyakitkan, tetapi tak bisa berhenti selama gelang pemberian Papa masih berada di tangan. Penyesalan dan rasa bersalah atas peristiwa dulu selalu menguatkanku—atau lebih tepatnya menyiksa.
Langkah kaki tergesa-gesa terdengar. Entah mengapa, pikiran telah menebak siapa gerangan kemari. "Kenapa cuma Huande yang dibantu Kahiyang? Gue juga mau!"
Litan menghela napas panjang. Meletakkan satu tangan di pinggang, sedangkan lainnya di pinggiran meja guru. "Sebelum itu, Ju, gue mau tanya. Lu harus menekan tombol yang mana? Jam berapa? Terus tempatnya di mana?"