“Lu bilang, si siswa tersembunyi itu pasti bakal datang, ‘kan?” Aku berkacak pinggang, menoleh ke arah Litan. Memandangnya menggunakan pakaian kasual di area sekolah, terkesan segar.
Begitu pun para siswa kelas sepuluh. Hari ini keberangkatan kunjungan wisata edukasi. Kami hanya pergi selama sehari. Jadi, tidak perlu membawa barang banyak seperti ketika study tour satu minggu.
“Bentar lagi.” Setelah sekian lama. Akhirnya aku bisa melihat juga wajah Litan gelisah ketika membahas tentang si siswa tersembunyi.
Aku menoleh ke arah gerbang sekolah. Ada yang datang, tetapi tidak membuatku antusias sama sekali. “Ogya aja baru datang.”
“Awas kalo sampai gak jadi.” Sekian menit lalu, Juis, Huande, dan Hapi menyapa saat berkumpul dengan kami, tetapi Ogya rupanya punya gaya sendiri.
Berselang sebentar, gemuruh khas mesin kendaraan terdengar kencang. Empat bus memasuki halaman sekolah bergantian. Guru-guru memeriksa kertas di tangan mereka, berbicara dengan sopir, kemudian memanggil beberapa siswa.
Sekali lagi aku menengok ke Litan, tatapan semakin tajam. “Mana?” Semuanya sudah mulai bersiap. Berarti, kami tak memiliki banyak waktu lagi.
“Litan!” Pak Ramu berjalan tergesa ke arah kami. “Sudah kumpul semua temanmu? Cepetan naik, kalian naik ke bus empat!”
Litan tampak gelagapan. “Baik, Bapak. Sebentar lagi.”
Pak Ramu tersenyum, kemudian kembali ke gerombolan guru di dekat bus.
“Litan!” Aku menggertak, bermaksud meminta pertanggungjawabannya atas si siswa tersembunyi itu.
Dia menggaruk rambut gusar. Menatap Ogya seperti ingin mengucapkan sesuatu, tetapi kemudian mengurungkan niat dan malah menoleh padaku. “Pertama, maaf kalo gue salah tentang dia. Kedua …,” Litan menghela napas, “rencana kita terancam batal.”
Kali ini giliran Ogya melirik Litan. Sebelum sempat berkata, Litan lebih dulu mendorong pelan pundaknya. Mengajak ke bus empat. Samar-samar terdengar gerutuan Ogya. Aku tak peduli, biar Litan sendiri yang menghadapi.
Aku mengekor. Begitu pula dengan Huande, Juis, dan Hapi. Kami sudah terlanjur ke sini. Apa pun yang terjadi, lebih baik mengikuti kunjungan wisata edukasi terlebih dahulu. Walau masih mustahil membuktikan solid, setidaknya bisa bersenang-senang.
“Gue heran, kenapa lu dengan percaya dirinya ngajakin?”
Langkahku terhenti seketika. Suara itu asing. Aku tak pernah mendengarnya di mana pun. Melirik ke arah Litan yang berdiri satu meter di depan, dia mematung sejenak sebelum memutar tubuh. “Karena gue yakin lu bakal datang.”
Diakah? Seseorang yang berada di belakangku saat ini, si siswa tersembunyi? Gugup menguasai seketika. Perlahan, aku berbalik. Sedikit tidak siap, tetapi rasa penasaran lebih kuat.
Aku terbelalak saat menangkap sosok itu. Sorot matanya tajam, sanggup menembus raga siapa pun di hadapan. Rahang tegas membingkai paras dingin, bak tak mengenal senyuman. Dia menawan, tetapi mengerikan.
“Seberapa yakin?”
Litan tampak serius. “Tepat hari ini masa skors lu selesai. Gak ada alasan buat meninggalkan kegiatan sekolah.”
“Ada.” Dia tak bergeming sama sekali. “Gue yang gak mau.” Lelaki itu menyahut lagi sebelum Litan sempat bicara, “Ini kesepakatannya. Kalo lu mau bolos, gue maju paling depan.”
Aku nyaris saja terlena oleh tampangnya. Skors sudah cukup memberi kesan kurang baik pada lelaki itu. Ditambah sikap seperti itu, harapanku—agar mau diajak solid—padanya kian surut.
Wajah tak suka Litan terlihat jelas. Aku sudah bersiap—sebagai pawang banteng—bila dia hendak mengamuk di sini.
Raut Ogya berbanding terbalik sesaat setelah dia mendapati Litan, kemudian beralih ke siswa-baru-muncul itu. “Menarik.” Dia menengok ke sebelah. “Lu mau ikut juga gak, De?”
Huande sedikit mendongak. “Kalo seru sih, gue ikut aja.”
“Hapi ….” Ogya tersenyum lebar, dengan makna sebaliknya.