Aku memegang erat tali ransel, angin pagi masih cukup menusuk tulang. Dari lorong, terlihat Haunde di ambang pintu kelas. Sesekali gemerincing gelang emas pemberian Papa, selalu menguatkanku untuk bersikap dingin dan mengunci sanubari erat-erat.
Sembari mengingat Papa, aku memberanikan diri memasuki kelas tanpa menghiraukan Huande sama sekali. Namun, langkah terpaksa berhenti karena pemuda itu memegang lenganku.
Aku terkejut bukan main. Terlebih, di kelas belum ada siapa pun selain kami berdua sehingga sulit mengalihkan perhatian. Jantung berdetak kencang sesaat setelah mata menangkap sorot lembut penuh arti pemuda itu.
Aku mengerutkan alis. Bila belum bisa mengendalikan diri sendiri, maka harus membenci segala getaran yang ditimbulkan oleh pemuda itu. "Kalo serius gue dengerin."
Huande melirik lorong. Aku mengikuti arah pandangnya, si siswa ketujuh datang. Genggaman Huande kulepas kasar, kemudian bergegas menuju bangku. Entah sekian kalinya berlagak sibuk dengan buku.
Sekilas, kulihat si siswa ketujuh menatap kemari sesaat. Aku hampir yakin dia mengamati situasi barusan. Sungguh, anak nakal mana yang sampai diskors, tetapi memiliki perawakan cerdas?
Saat pelajaran pertama dimulai, Pak Ramu tampak antusias menyadari peserta didiknya lengkap. Sebenarnya si siswa ketujuh sudah hadir sejak beberapa hari lalu, tetapi baru bertemu wali kelas saat ini.
Pak Hakim menghampiri kelas. Sepertinya ada urusan dengan guru pengajar kami. Ketika hendak pergi dan menyadari siapa gerangan di bangku ujung, reaksi beliau bak mendapat harta karun. "Saya harap kamu gak balik ke Ruang Kesiswaan, Raung."
Aku spontan menoleh ke lelaki itu. Entah mengapa namanya terdengar sangat cocok. Kian mengetahui tentangnya, dia semakin terlihat bagai polesan terakhir yang mengkilap dan menyempurnakan X Class.
"Nama lu." Aku menggeledah laci meja guru, di jam istirahat usai Pak Ramu mengisyaratkan bila ada satu papan nama di sana dan kami diperbolehkan mengambilnya. "Gue taruh di sini."
Terbuat dari kaca tembus pandang nan mengkilap, memberi kesan elegan pada nama yang tertera. Mendengar saja hampir tak tahan untuk berdecak kagum, apalagi bila membaca lengkap.
RAUNG BHUMIDIPATI
Dia mempunyai nama yang hebat. Lelaki penguasa dunia dengan suara menggelegar, kurang lebih begitu asumsiku tentang artinya.
"Makasih." Dia hanya menatapku sebentar, sebelum meninggalkan kelas. Masih dengan garis wajah yang tak bergeser dari kesan datar.
Aku menarik napas banyak, menggembungkan pipi. Meski sudah melihat wajahnya, masih banyak hal-hal tentang Raung yang membuatku penasaran. Dia juga bagai air tenang menghanyutkan, terkadang membuatku khawatir akan sesuatu tak jelas.
Istirahat pertama kali ini, aku tak berselera untuk pergi ke kantin atau sekadar berkeliling area SMA Jagadhita guna mencari angin. Alhasil, hanya berdiam diri di kelas sambil bermain ponsel.
Sayup-sayup bunyi AC terkesan menenangkan. Sejuknya menjalar hingga tulang. Tiada apa pun mengganggu, hanya sesekali terdengar suara dari video di sosial media yang tak sengaja kuputar. Seolah di bumi tersisa diriku seorang, tanpa satu hal pun bisa mengusik.
Derap langkah kaki khas lantai X Class terdengar. Kedamaian seketika hancur menjadi kebakaran hebat. Yap, hatiku yang terbakar. Tanpa menengok pun, sudah tahu siapa gerangan datang.
Aku nyaris melemparnya dengan kursi ketika dia memilih berhenti di depan mejaku, alih-alih duduk di bangku sendiri. Sekuat tenaga menahan gejolak dalam dada, lebih baik diam daripada menggubrisnya.
“Kahi.”