Huande tak kunjung kemari, setelah aku secara tak langsung memintanya. Dia tampak bertanya-tanya.
Rasanya aneh. Aku tak pernah mengatakan hal semacam itu selama setahun belakangan—usai kami berpisah. Tiba-tiba bersikap begini, menyaksikan reaksi terkejut orang lain sungguh menguras mental.
Hapi memekik antusias. "Huande, cepetan ke sini! Main boling sama-sama!"
Bukannya merespons Hapi, Huande justru menggeser pandangan padaku. Seperti meminta persetujuan.
Aku berusaha terlihat biasa, memberi isyarat bahwa Huande benar-benar boleh bergabung.
Sudut bibirnya terangkat tipis, paras tenang itu kini terkesan lebih cerah. Huande berjalan memasuki kelas. "Ayo, satu lawan satu sama gue, Pi."
Senyum tanpa sadar mengembang, meski hanya tipis. Baru kali ini, aku bisa memandang Huande melangkah mendekat tanpa rasa sesak. Bahkan saat kami bersebelahan dan Hapi menyambutnya dengan semangat, aku hampir kelepasan menyapanya pula.
Walau dia masih Huande yang sama, tetapi pandanganku padanya ternyata bisa sedikit membaik.
Aku baru saja hendak menyandar kursi empuk seraya tertawa mensyukuri kehadiran teman-teman sekelas, tiba-tiba dunia seolah menjadi kelabu begitu saja. Sekian meter dari pintu, Juis hendak kemari, tetapi dia mengurungkan niat.
Aku tak tahu apa yang terjadi padanya. Pasti ada banyak alasan, tetapi ada satu yang menjadi asumsi terkuatku: salah satu penghuni kelas saat ini. Namun, aku tak ingin beranggapan begitu.
"Gue duluan?"
Lirih suara tenang Huande yang bagai mendayu-dayu, membuyarkan lamunan. Aku menghela napas berat. Kemudian mengalihkan perhatian dari lorong, menuju dua lelaki di bagian belakang kelas.
Hapi mengangguk semangat. "Boleh!"
Huande merendahkan tubuh sesaat guna mengambil bola boling di lantai. Dipegang menggunakan dua tangan di depan wajah seraya berkonsentrasi pada pin-pin di depan mata.
Berselang sebentar, dia mengayun bola ke belakang, sedangkan tubuh sedikit membungkuk sambil melangkah kecil. Lantas melempar bola bersamaan kaki kanan ditekuk dan digerakkan ke kiri.
Pupilku bergeser ke atas, menangkap paras Huande. Entah kapan kesan tenang itu menghilang darinya. Jas hitam tertulis X Class, tak dikancingkan, ikut berayun bebas.
Huande, pada dasarnya dia menawan. Aku tak menyangka akan tersadar atas pesona pemuda itu lagi setelah sekian lama.
“Kita lihat ….” Suara gelindingan bola sedikit berbeda karena bukan melewati jalur boling sungguhan. Disusul bunyi pin-pin terjatuh. Huande nyaris strike, bila saja mendapat satu skor lagi.
Sudut bibirku spontan terangkat. “Lu jago juga ….”
Huande tertawa kecil, dia selalu agak sungkan saat disanjung—sejak dulu. “Cuma perlu perhitungan dikit. Asal gak meleset pas ngelempar, pasti dapat skor minimal delapan.”
Mereka bermain secara sportif, sedangkan aku hanya menonton. Usai Huande menjatuhkan satu pin sisanya, kini giliran Hapi. Bocah itu tetap bertepuk tangan senang meski hanya mendapat empat skor, bahkan di percobaan kedua juga belum berhasil membersihkan sisa pin.
“Hapi, mau dengerin bentar?” Huande bersiap dengan bola boling sambil melirik bocah menggemaskan itu, setelah memastikan sepuluh pin telah tertata kembali.
“Daripada ngasih tenaga terlalu banyak,” Huande mengayun bola ke belakang, kemudian diluncurkan, “mending pelankan aja kecepatan lemparan, yang penting presisi.” Dia memandang Hapi lekat, alih-alih memperhatikan jalur boling.