"Litan!"
Satu gertakan menggunakan nama, aku berhasil membuat pemuda itu berhenti melangkah dan mengurungkan niat yang dipenuhi emosi tak terkendali. Dia memandang kemari, rautnya tampak mengerikan.
Aku memberi kode padanya agar menahan diri.
Sesungguhnya aku juga ingin berceramah panjang lebar di depan Raung. Pasalnya, sudah ada Ogya yang selalu menentang rencana solid Litan. Kini, si anak baru datang belum genap seminggu lalu, berani sekali menambah masalah.
Aku menjadi bungkam dengan pikiran berkecamuk ketika menyadari Raung—entah sejak kapan—melihat kemari. Apa yang ada di benak pemuda itu, entah mengapa membuatku waspada, dia seperti sedang mencerna hal tersirat.
"Udah ada Kahiyang yang mendukung lu.” Tatapan Raung bergeser ke Litan. “Maka, gue sebagai wakil ketua dua, bakal menampung aspirasi teman-teman yang enggak lu dengerin."
Decak kagum Ogya memenuhi ruang. Dia menoleh ke Raung. "Omongan gue gak pernah kedengeran santai di telinga Litan. Tapi kalo lu pasti beda."
Juis mengangkat alis, sedikit miris bercampur meremehkan. "Maksudnya gimana? Kan kalo lu nyinyir terus, yang denger juga bosen."
Aku bergegas bicara sebelum keadaan kian memanas, "Kita ini X Class. Gue emang gak sepenuhnya percaya kalo bisa solid." Kemudian memandang kanan kiri bergantian. "Tapi, asal kalian mau membuang ego, gak ada yang mustahil."
"Maksud lu memaksa kehendak?" Raung mendadak menoleh kemari. Sungguh, tatapannya menguasai ragaku seketika, membuat bergeming tanpa sedikit pun celah kabur. Dia agak menyipit. "Itu bukan cara buat ngumpulin kawan."
"Hapi, gimana menurut lu?" Gaya bicara Ogya penuh persuasif, "Lu suka kebebasan, 'kan?"
Bocah menggemaskan itu menatap Ogya dengan polos. "Pengennya ikut yang Hapi suka—"
"Berhenti mempengaruhi!" Litan tiba-tiba menaikkan nada suara, dia tegas. Membuat Hapi yang kalimatnya tersela menjadi tersentak dan ketakutan beberapa saat.
Juis sedikit berteriak kesal, "Ngemis pengikut mulu lu! Kalo gak ada yang dukung, ya udah diam aja! Udah tahu kalah jumlah gitu kok!"
Sekian detik kemudian, sunyi.
Sampai suara tenang memecah, "Beneran?"
Mataku melebar seketika, seiring kepala menoleh ke bangku di salah satu ujung. Seharusnya aku waspada lebih awal karena Huande pernah beberapa kali mengeluh terkait rencana solid kami. Posisinya cukup rawan.
Sementara Juis mendadak terdiam. Dia belum memahami maksud Huande.
"Beneran lu bilang Ogya kalah jumlah?" Huande tak terlihat setenang biasa, seperti terusik oleh sesuatu. "Tanya Hapi, dia mau berdiri di mana. Setelah itu, baru gue memutuskan pilihan."
Litan kian naik pitam. Kembali menegaskan, "Kita ada di tim yang sama, temen-temen."
Seolah tak mendengar ketua kelas, Hapi terdiam sesaat guna memikirkan jawaban. "Semua gak ada yang salah."
Huande langsung menggeser pandangan ke Raung. "Bagus kalo gitu. Gue akhirnya sadar kalo pendapat gue jarang didengerin."