X Class 007

Adinda Amalia
Chapter #12

12: Persiapan dan Deklarasi

Aku tak percaya diriku baru saja menyusul dan memanggil nama Huande. Pikiranku mendadak kosong sekian detik. Berbenturan antara sanubari dan pikiran. Namun, aku tahu mana yang harus diutamakan.

Beberapa saat, pemuda itu masih melangkah menyusuri lorong. Kemudian berhenti dan berbalik perlahan.

Sekian kalinya, tiap pandangan kami bertemu, pemuda itu bagai menghentak benak kuat-kuat. Huande, tak akan pernah membekas biasa layaknya orang-orang lain.

Namun, aku harus menguatkan diri untuk mengabaikan tentang masa lalu pemuda itu, sesaat. Demi sesuatu yang lebih penting. “Gue mau ngomong soal X Class.”

Huande terdiam beberapa saat. Entah apa yang dia tunggu, padahal garis wajahnya tak menyiratkan keraguan sedikit pun. “Gue gak bisa dengerin Litan kalo dia masih kayak gitu juga ke gue.”

Mataku menyipit, miris. “Itu bukan alasan lu sebenarnya.”

Sudut bibir Huande terangkat tipis. Dia mengalihkan pandangan ke sembarang arah, lantas mengangguk-angguk pelan. “Gue … tahu Juis deket sama lu.” Pemuda itu akhirnya mengaku, sesuai dugaanku.

Sungguh, aku tak habis pikir. Dari berbagai hal yang bisa menjadi alasan, mengapa dia mengutamakan yang itu? Juis memang kerap mengekor padaku, tetapi sekarang bahkan sudah lebih jarang.

Aku menghela napas. “Terus kenapa? Lu gak pengen kalah?” Tatapan mirisku tak tertahan. “Gak ada kemungkinan lain, De.”

Aku melanjutkan, “Lu tahu, siapa lu di mata gue.” Terlebih, dialah yang mengakhiri hubungan kami tanpa peduli berapa aku kali membujuknya hari itu. “Gak ada harapan, buat lu menjadi orang yang sama kayak dulu lagi … bagi gue.”

Ini menyesakkan, aku sangat malas membahas hal tersebut. Dengan Juis saja, aku membatasi interaksi kami agar tak terlena padanya lebih jauh. Aku sama sekali tak ingin memiliki hubungan bersama siapa pun.

Ada hal yang bisa menjadi prioritas di depan mata, dan kurasa itu yang tepat untuk saat ini. “Udahlah, pikirin aja X Class, biar kita solid ….”

“Enggak.” Huande berbalik, lantas melanjutkan langkah menyusuri lorong.

Seketika aku nyaris mengumpat. Gusar sendiri. Kurasa solid bukan menjadi hal yang sulit. Meski begitu, mengapa ada saja yang menolak? Ada apa dengan pola pikir mereka? Memang benar anggapanku di awal, memenuhi tujuan X Class bagai percobaan neraka!

“Tapi ….” Huande berhenti setelah beberapa meter. Kemudian menoleh belakang—padaku. “Gue berhutang budi sama lu, butuh bantuan?”

Amarah mendingin seketika, seiring bola mata melebar sedikit. Aku hampir tak percaya dengan apa yang barusan terdengar. Biarlah, bila dipikir, tak ada lagi alasan menghindari interaksi dengan Huande sepenuhnya. Kami teman sekelas. “Boleh.”


"Ada banyak penjual bendera di pinggir jalan, kok. Lu mau ke mana?" Aku setengah berteriak, duduk di jok belakang sepeda motor Huande.

"Buat karnaval kalian, lebih baik pakai bendera yang terbaik. Gue tahu toko yang bagus!"

Pelataran kecil, hanya berjarak tiga meter antara bangunan dan jalan raya, digunakan sebagai parkiran. Tak ada dua kendaraan selain sepeda motor Huande yang baru saja bertengger.

Aku mengikuti pemuda itu memasuki bangunan toko. Luas sekitar sepuluh meter persegi, di mana-mana terpampang kain mulai dari polos sampai bermotif batik maupun tokoh animasi.

"Lu yakin gak salah?"

Lihat selengkapnya