Aku memaksa senyum lebar di depan Litan. Memegang kedua pundak pemuda itu sambil perlahan mendorongnya mundur. “Sabar, Pak Ketua ….”
Aku tak tahan untuk memanggilnya seperti itu, ketika dia memakai seragam TNI jaman kemerdekaan. Didominasi warna coklat, ujung celana panjang nan lebar dimasukkan ke dalam sepatu boots bertali. Kemeja dengan dua saku besar di dada kanan-kiri. Ikat pinggang tumpuk dua sampai tiga. Tak lupa topi baret tempo dulu.
Lelaki bule di belakangku menggunakan pakaian sama persis—hanya aku yang desain bajunya sedikit berbeda agar tampak anggun. Dia sekadar menggaruk rambut tak gatal dengan wajah tanpa dosa. “Di rumah adanya itu.”
Litan langsung bersungut-sungut. Dia cekatan melepas tanganku darinya—dengan halus. Kemudian mendekat ke Juis sampai jarak di antara mereka kurang dari satu meter. “Gue bilangnya apa dulu? Bagian lu apa?”
Juis spontan sedikit mundur, agak kikuk menghadapi Litan yang terus memojokkannya. “Becak sama sound system.”
“Becak hias!” Litan mengoreksi—adegan ini terasa familiar—sambil memekik kesal. “Hari ini yang lu bawa apa?”
Alih-alih kendaraan roda tiga seperti kesepakatan kami dahulu, Juis malah membawa mobil double cabin keluaran salah satu perusahaan otomotif terkenal. Eksterior didominasi hitam mengkilap dengan pegangan berbentuk siku-siku berwarna silver di bagian bak.
Juis melirik mobilnya sesaat, kemudian kembali ke Litan tanpa berani memandang mata sang ketua kelas terlalu lama. “Itu sound system bener kok.”
Sekejap kemudian, Juis memekik ngeri ketika Litan tiba-tiba mempersingkat lagi jarak di antara mereka. Dia bak kembang gula yang berangsur menyusut karena terkena air. Pasalnya, tatapan membunuh Litan kian mengerikan.
“Udah deh, Litan ….” Aku menarik pelan pundak si ketua kelas. “Bentar lagi kita berangkat, pikirin aja solusinya.”
Seketika Juis berbinar-binar, memandangku bagai menemukan mata air di tengah gurun pasir nan panas. Dia bergegas berpindah dari hadapan Litan, lebih mendekat padaku. “Nah, jadi gak masalah ‘kan walaupun gue bawanya bukan becak—”
“Nyeramahin Juis bisa dilanjutin ntar lagi,” tambahku, membuat bocah bule itu langsung bersungut-sungut.
Juis memekik tak terima. Dia mencibir sambil mendengus, kemudian menggerutu, “Lagian gue lihat Cemani, tetangga gue, bawa gituan juga.”
Aku mengerutkan alis. “Cemani siapa?”
“Kapten basket.”
“Kak Raven?” Aku menepuk jidat. “Anak Excellent mah niat! Lha kita?”
Excellent yang beranggotakan lima orang, membawa mobil double cabin serupa milik Juis—hanya saja warnanya putih doff yang terkesan lembut. Dihias megah sedemikian rupa, tak ada yang menandingi.
Sementara mobil kami benar-benar polos.
Aku menghela napas. Kemudian memandang sekitar, para siswa bergerombol menurut kelas masing-masing, tentu dengan kostum yang beraneka ragam pula. Hanya kami yang tampak sepi. “Lainnya beneran gak ikut?”
Litan sekadar membuang muka sambil mendecak kesal.
Aku hendak membahas lebih lanjut, tetapi mengurungkan niat saat langkah tergesa-gesa terdengar kian kencang, menuju kemari. Hapi membawa tujuh bendera dan dua tongkat dari kelas. “Pesanan datang!”
Desain seragam—TNI jaman kemerdekaan—untuk Hapi juga sedikit berbeda. Lengan kemeja dan celananya pendek. Sungguh menggemaskan.
Tiba-tiba saja aku terpikir sesuatu yang mungkin bisa sedikit menolong keadaan kami saat ini. Kami hanya membutuhkan dua dari tujuh bendera yang ada. Jadi, kuminta Hapi memasang lima sisanya di sekeliling mobil sebagai hiasan, sedangkan Litan menyiapkan genset dan sound system.
Juis memandang keduanya bergantian sebelum beralih padaku. “Gue ngapain?”
“Siniin hape lu!” Aku asal menyampar ponsel lelaki itu, kemudian memasukkan beberapa lagu khas kemerdekaan ke dalam sebuah playlist—hal ini telah ditentukan oleh OSIS agar semua rombongan kelas bisa sinkron dalam memutar lagu.
Aku mengembalikan ponsel Juis usai memastikannya telah tersambung bluetooth dengan sound system. “Jangan sampai salah, ya! Anak Excellent jadi patokan, kalo lu ngerasa lagu yang diputar kelas kita agak lambat atau kecepetan, langsung sesuaikan aja!”
Juis mengangguk paham. “Oh, ya! Yang, lu di belakang ‘kan sama gue—”
“Sound system udah kelar,” seru Litan. “Siniin kunci mobil lu, Ju! Gue yang nyetir.” Dia segera mendapat benda permintaannya tanpa keraguan dari sang pemilik. “Hapi, lu di belakang sama Juis! Kay, sama gue di depan!”
“Loh!” Juis agaknya menyesal telah memberikan kunci mobil pada Litan barusan.
Litan tak peduli. Dia memberi kode menggunakan tangan agar duduk di sebelah kursi pengemudi, yang langsung kuturuti. Aku menengok jendela, terkekeh kecil melihat perdebatan di luar.
“Gue juga mau duduk!” Juis hendak membuka pintu penumpang.