Aku berdiam diri beberapa meter dari pintu kelas. Sikap Huande yang seketika menghancurkan suasana hati, membuatku mati rasa—malas begitu saja—akan usaha solid X Class. Namun, aku tak boleh mengecewakan Litan.
Sesaat setelah memasuki kelas, aku sedikit tertegun karena sehelai panjang kain berwarna hitam tiba-tiba terjatuh saat seseorang sibuk menggeledah ranselnya.
Aku mengambil sabuk hitam tersebut, kemudian mengembalikan ke satu-satunya pemuda yang ada di ruangan.
“Makasih.” Dia asal menyambar, kemudian memasukkan ke dalam tas.
“Bela diri apa yang lu pelajari?” Aku mendekat padanya. “Raung?”
“Brazilian Jiu-Jitsu.” Dia menutupi resleting tas dan menaruhnya di sebelah meja, kemudian menatapku cukup lekat. “Lu mau lihat?”
Aku mematung. Isi kepala mendadak berkecamuk begitu saja. Dia tak mengutarakan ancaman atau intimidasi, tetapi tatapannya benar-benar membuatku bergeming.
Aku tersadar sekaligus terlonjak saat Raung—untuk sekian kalinya—menggelitik pinggangku menggunakan bolpoin.
Raung menjauhkan tangannya dariku. “Itu namanya Jurus Setruman Maut.”
Aku tertawa, dia pasti bercanda dan mengada-ada. Meski tak tahu apa pun dengan Brazilian Jiu-Jitsu, aku yakin bahwa seni bela diri tersebut tidaklah memanfaatkan bolpoin sebagai senjata.
“Kalo ini Jurus Setruman Maut Kuadrat.” Dia menggelitikku sekali lagi, lebih lama dari sebelumnya.
Tawaku kian kencang. Spontan melangkah mundur sambil memegang pinggang. Gelitikan adalah salah satu kelemahanku. Bahkan aku kerap tergelitik saat menyentuh leher sendiri. “Udah. Jangan lagi ….”
“Bener-bener sukses bikin lu kesetrum.” Raung meletakkan bolpoin di mejanya.
Aku tertawa kecil, kemudian manyangga satu tangan di meja Ogya—tepat sebelah bangku Raung. “Ngomong-ngomong …,” aku berusaha terlihat biasa saja, “gimana cara lu mewujudkan aspirasi temen-temen?”
Raung menggeser posisi tubuh, perlahan menghadapku sepenuhnya. Namun, sebelum pemuda itu bicara, aku mendahului, “Mungkin lain waktu kita bisa kolaborasi …,” suaraku berangsur turun hingga tak terdengar sama sekali.
Rasanya bagai mangsa yang baru sadar bila terjebak di perangkap singa, dan sang predator itu mulai melangkah mendekat dengan taring-taringnya yang siap mengoyak. Padahal, Raung hanya sedikit menyipitkan mata.
Keringat dingin mendadak bercucuran. Sejuta untaian kalimat negoisasi kabur meninggalkan otak secepat kilat. Raung seolah telah menebak apa yang kuinginkan, dan dia seketika mengirim pesan tolakan keras melalui pikiran.
“Lu—lupakan!” Aku berdiri tegap kembali, tak berani sok bergaya di pinggir meja. Hendak memaksa tertawa walau sedikit saja, tetapi mengurungkan niat karena terlalu ngeri untuk bersuara.
Terlebih, Raung tak mengucap sepatah kata pun sehingga tatapan pemuda itu terkesan semakin tajam, bagai kekuatan terbesarnya. Raung seolah dapat mendobrak berlapis-lapis ego dan tekad, kemudian memeranjat jiwaku sampai gemetar ketakutan.
Aku tanpa sadar menahan napas. Sampai akhirnya bisa sedikit lega saat Raung akhirnya mengalihkan pandangannya. Meski begitu, aura pekat nan mengerikan pemuda itu masih memancar kuat. “Litan yang meminta lu kayak gitu?”
Baru saja aku sedikit membuka mulut, seketika bungkam dengan kengerian menguasai raga ketika Raung mendadak menyela, “Kalo gitu gue perlu bicara sama lu …,” lagi-lagi dia membuatku bergeming karena menatap kemari, “besok.”
“I … iya.” Aku memberanikan diri memandang pemuda itu melangkah pergi. Kemudian menghela napas saat dia telah menghilang sepenuhnya.
Aku sama sekali tak mengira akan sanggup menghadapi Raung sekali lagi, terlebih dengan serangan berupa tatapan seperti itu. Namun, tak apa lah. Dia sepertinya ingin membahas dua kubu yang ada di kelas kami. Bisa saja aku memancingnya agar berubah pikiran.
“Mulai hari ini sampai Pekan Tujuhbelasan selesai, kita bakal sibuk sama berbagai lomba.” Aku menyalakan monitor kelas dan menunjukkan kembali catatan tentang ajang-ajang yang telah dipilih Litan untuk kami ikuti.