“Beneran kayak gini disebut hadiah? Gue kira bisa bikin senang, tapi kok malah ngerepotin?”
Aku merebut kotak di meja Huande. Dari kemasannya terlihat, sebuah jam dinding raksasa rakit tempel. “Gak usah nyinyir, masang gini doang.”
Litan, aku, dan Huande berhasil mendapat rata-rata skor tertinggi dari seluruh kelas yang berpartisipasi sehingga berhak mendapat juara pertama. Selain jam dinding tersebut, kami juga mendapat sebuah kotak kado, serta tropi kecil dan sertifikat ukuran besar—sudah terpajang di kelas.
Litan berdecak kagum saat membuka kotak kado tersebut. Dia mengambil isinya, kemudian memamerkan ke teman sekelas. “Lihat, deh! Drone … kurang keren apa anak OSIS kalo nyiapin hadiah?”
Aku menggeleng, tak bisa percaya. Benar perkataan Matteo dulu, Pekan Tujuhbelasan memang salah satu acara besar SMA Jagadhita yang tidak main-main.
“Mantap, nih! Semoga gak dihancurin sama Juis.” Litan mengutak-atik remot drone, mencoba menerbangkannya perlahan.
Tak sengaja melirik, rupanya Huande penasaran dengan jam dinding raksasa yang perlu dirangkai dan ditempel itu. Aku berniat menghampiri guna membantunya, malah terkejut dan terpaksa mengurungkan saat mendadak digandeng pergi oleh Juis.
“Gue pengen ngomong, berdua doang.” Juis berbalik, tepat setelah kami sampai di jalan setapak taman sekolah—cukup sepi karena kebanyakan siswa ada di lapangan untuk mengikuti atau menonton lomba. “Lu sama gue.”
Raut serius Juis mengejutkanku. Entah mengapa aku mendadak menggapnya benar-benar sebagai lelaki, bukan lagi si anak langganan Bagian Kesiswaan hanya tahu bercanda.
Matanya tampak sendu. “Kenapa lu jadi menjauh, Yang?”
Aku tertegun seketika. Mengulum bibir. Pasalnya, aku telah memutuskan untuk membuka hati dan menghentikan sikap dingin yang sempat kutunjukkan. Namun, interaksi kami belum juga kembali sedekat dulu karena aku terlalu sibuk dengan lainnya.
“Gue gak mau mukul lu lagi, tapi … apa yang harus gue lakuin biar bisa ngekor lu kayak dulu lagi?” Dia sedikit memelas.
Ngekor ….
Tiba-tiba saja aku merindukan Juis yang kerap berlagak ngambek dan sok imut. Walau memang diperlukan pertahanan khusus agar tak sampai terlena olehnya.
“Lu …,” Juis melirihkan suara, lebih hati-hati bicara, “gak terganggu kan kalo gue ngekor?”
Aku buru-buru menggeleng. Terasa bak mimpi buruk saat terbayang Juis mendadak diam di pojokan kelas dan mengaku tak akan mengusikku lagi sama sekali.
“Enggak, sama sekali." Aku tertawa kecil. "Asal jangan berlebihan aja.”
Juis menunduk sambil tersenyum, tetapi dia tampak berusaha menahannya.
Itu menggemaskan! Terakhir kali aku melihatnya sok lucu dengan meniru tingkah Hapi, tetapi kali ini dia benar-benar manis oleh caranya sendiri.
“Gue—” Juis mendadak gugup. Mengalihkan pandangan sambil berkali-kali merapikan kerah blazer hitam bertulis X Class, sebelum akhirnya menatap mataku dengan wajah memerah. “Gue suka sama lu, sejak lama!”
Eh?
Pipiku tiba-tiba sedikit memanas. Kupikir Juis memang jahil dan aku saja yang terlalu mudah tertarik oleh hal itu. Namun, ternyata dia malah lebih ….
Aku tak tahu mengapa menjadi ikut gugup. Bahkan bingung harus berkata apa.
“Dulu gue rasa … walau gak memiliki lu, semua bakal baik-baik aja. Tapi sekarang kayaknya enggak.” Juis selangkah mendekat, membuatku benar-benar mematung.
Menatapnya dengan berbinar dan jantung kian berpacu kencang, tanpa sanggup berbuat apa pun.
“Gue tahu ini bakal berakhir jauh lebih nyakitin kalo suatu saat kita putus atau lu nolak, tapi ….” Juis meraih pelan jemariku, dia sangat lembut. “Yang, lu harus jadi pacar gue!”
Maksa!
Aku ingin sekali memekik seperti itu, tetapi ada daya bibir terasa kelu. Memandangnya yang memberi tatapan penuh arti itu, membuat jantung bagai berhenti bekerja.
Sinar matahari menyerobot sedikit dari celah pohon-pohon besar, Juis tampak bersinar karenanya. Surai kepirangan pemuda itu berayun pelan oleh semilir angin.
Aku langsung mengalihkan pandangan, berusaha berpikir jernih. Bukan bermaksud meragukan Juis, tetapi semua terasa aneh. “Ke … kenapa lu tiba-tiba kayak gini?”
Ini kedua kalinya aku mendengar kalimat semacam itu dari lelaki, dan yang pertama tak berakhir menyenangkan.
Aku benar-benar tak ingin menyakitinya. Namun, kian dipikirkan, ini semakin terasa salah. "Ju, lu tahu. Gue gak ada rasa ke Huande sama sekali. Kami gak bakal balikan, kalau pun dia minta!”
“Bukan Huande …." Suara lirihnya nyaris tak terdengar, memelas bagai tak ada harapan sama sekali. Di sisi lain, perubahan iris pemuda itu tiba-tiba membuat perasaanku tak nyaman. “Masalahnya, Raung—”
Aku terbelalak, kemudian bergegas melangkah. Membiarkan tangan lepas dari genggaman Juis. Aku dapat merasakan pemuda itu sempat berusaha menahanku kembali, dan keputusannya untuk mengurungkan niat tersebut sungguh menimbulkan rasa mencekat yang menyiksa.