“Yang!” Juis bersikap seolah tak terjadi apa pun, padahal aku telah menggantung—atau bisa dibilang menolak secara halus—pengakuan cintanya. “Lu sejenis kambing, ya?”
Aku langsung menamparnya, lantas bergegas pergi menuju gerombolan siswa X Class lain di lapangan; Litan, Hapi, dan Raung. Sesaat tertawa kecil, tahu bahwa Juis hanya bercanda.
“Karena lu bikin hati gue terombang-ambing!” Juis segera melanjutkan gombalannya, tetapi aku tetap meninggalkannya. “Hei, Yang!” Dia memekik kian kencang, “Yang! Jangan ngambek, lah!”
“Kita gak sempet diskusi lagi buat nentuin siapa lagi yang ikut lomba pukul bantal,” aku menggerutu sesampainya di sebelah sang ketua kelas.
“Kita kekurangan peserta. Selain Hapi, siapa yang mau ikut?” Litan melipat tangan di depan dada. “Juis sebenarnya udah ada rencana mau di lomba pukul kendi sih. Kalo gue pengen dia ikut di lomba ini juga, gimana menurut lu?”
Aku mengangguk, menyetujui Litan. Juis memang kuat—seingatku dia selalu unggul tiap berkelahi dengan siswa lain, meski berakhir menjadi urusan Bagian Kesiswaan—sehingga dia bisa dianggap cocok untuk lomba ini, bahkan memiliki kemungkinan tinggi untuk menang.
Litan mendecak kesal. “Tapi Juis di mana, sih?”
Si bocah menggemaskan di dekat kami, mengalihkan pandangan dari lorong. “Hapi lihat, tadi Juis pergi.”
Litan mengerutkan alis penuh tanya. Sementara aku tertawa. “Kesal kali, gara-gara gombalannya gue kacangin.”
Duduk agak jauh dari kami dan tampak tak peduli, Raung tiba-tiba melirikku.
“Litan!” Matteo memanggil dari kejauhan, berlari kecil ke arah kami. Dia sepertinya lelah karena harus mengingatkan kami terus-menerus agar segera datang ke lokasi lomba.
Tak ada pilihan lain, aku dan Litan memutuskan untuk membiarkan Hapi maju saja ke lomba terlebih dulu, untuk saat ini. Syukurlah dia berharapan dengan Den, lawan yang paling seimbang untuk Hapi bila dibandingkan dengan siswa lain di SMA Jagadhita.
Den mewakili kelasnya, dan bukan lagi sebagai Excellent. Hanya ketika karnaval kemari, anggota-anggota Excellent diizinkan berdiri sendiri.
Aku menyenggol Litan. "Lu jadi pemain kedua, gih?"
Belum sempat meresponsku, perhatian Litan lebih dulu teralih oleh Matteo yang tiba-tiba memanggil lagi. "Ini yang takraw, kelas lu siapa aja yang maju? Datanya segera diminta nih!"
Litan terpaksa menjauh dari pinggir lapangan, berbicara dengan Matteo—entah bagaimana dia mengatasi itu, kami benar-benar belum memikirkan tentang lomba takraw. Sementara aku hanya bisa menghela napas.
Aku menoleh ke Hapi, dan seketika menjadi panik. Den memang siswa termuda di SMA Jagadhita setelah Hapi. Meski begitu, Den sekitar tiga tahun lebih tua dari Hapi sehingga kekuatan fisiknya jalas unggul.
Hapi kewalahan. Siapa pun pasti menyadari bahwa gerakannya selalu kalah cepat—meski Den sebenarnya tak setangkas itu juga.
Aku kasihan pada Hapi. Sudah tak punya pemain kedua, apakah dia harus menerima kenyataan pahit lagi dengan kalah di pertandingan pertama?
"Itu salah …." Suara lirih seseorang tiba-tiba terdengar, mengejutkanku. "Hapi cuma punya sedikit kesempatan buat beraksi karena Den terlalu sering ngasih serangan."
Ucapan pemuda itu memancingku untuk mengamati laju pertandingan dengan lebih teliti.
Masih dengan suara lirih agak mengerikan yang terkadang membuat bergidik, Raung melanjutkan, "Udah gitu, Hapi balas serangannya di saat yang gak tepat—pas Den berlindung. Kalo tiba-tiba Den nyerang lagi, Hapi bakal kewalahan dan gak sempet bertahan dengan baik."
Apa yang dikatakan Raung, benar terjadi. Hapi bahkan nyaris jatuh andai tak berpegangan pada bambu dengan cukup kuat.
Entah mengapa, aku spontan menoleh perlahan ke arah Raung. Masih memandang pertandingan di lapangan, dia agak menyipit. Kian serius.
Aku terbelalak, Raung ternyata memiliki kharisma sekuat ini.
Dia bagai kapten yang tanggap akan segala kondisi, sigap memberi perintah, dan tentu saja dapat diandalkan. Bahkan mataku rasanya semakin sulit beralih ketika Raung tersentak dan spontan berteriak khawatir, “Hapi!”
Aku seperti melihat dari dalam dirinya, Raung sesungguhnya sangat perhatian.
“Diam aja dulu! Bertahan, pegangan kuat!” Raung memberi aba-aba, membuatku kembali menengok ke Hapi yang beberapa saat lalu nyaris terjatuh.
Aku ikut keringat dingin melihat Hapi kian terdesak. Bocah itu sudah mulai kelelahan, sedangkan Den tampak tak kehabisan tenaga sama sekali.
Aku menghela napas, memikirkan cemilan apa yang cocok untuk Hapi guna menghiburnya dari kekalahan lomba ini. Namun, seketika mengurungkan niat tersebut saat Raung mendadak memekik, “Serang!”
Dalam sekejap, Hapi mengayun bantal kencang-kencang dan berhasil menghantam Den yang lengah karena dia baru hendak bersiap untuk menyerang—tetapi tak sempat dan malah terjatuh.
Tersisa Hapi duduk di atas bambu, sedangkan Den telah tergeletak di bawah—beralaskan matras—tanpa daya. “Menang!”