X Class 007

Adinda Amalia
Chapter #17

17: Layaknya Pesan Lama

Bukan hanya aku, Juis juga pasti melihat Huande mengulurkan tangan. Seminim-minimnya otak Juis, setidaknya yang satu dia pasti bisa memahami.

Benar saja, raut Juis langsung mengerikan. Masih lebih baik jika dia sekadar cemburu. Masalahnya, Huande juga mengganggu waktu berduaan kami, bahkan secara tak langsung berusaha merebutku dari Juis.

Tak sepatah kata keluar dari mulut Juis. Namun, auranya benar-benar membuatku waspada ditambah ngeri. Bukan hal bagus bila Juis kelepasan emosi di sini, terlebih setelah insiden di lorong kelas hari lalu, saat aku berhati-hati menoleh belakang, lantas mendapati Juis berkacak pinggang—tak jauh dari sikapnya di hari biasa, tetapi entah mengapa kali itu terasa begitu ngeri, amarahnya terasa begitu kuat, meski dari kejauhan, bagai angin panas yang meningkat suhu sekitar.

"Balik ke kelas aja." Huande meraih lengan atasku, kemudian membelai perlahan. 

Sebelum dia meraih jemari dan sungguhan menggandeng, aku lebih dulu menghempas tangan pemuda itu.

Sikapnya menjijikan!

Aku sangat risih bila masih saja diperlakukan seperti itu oleh Huande. Apa dia tak tahu diri? Hah, dasar! Menyesal aku barusan mempedulikannya! Sekarang masa bodoh, biar saja Juis terpancing amarah sampai menghajarnya!

Aku memutar bola mata malas sebelum menatap Huande dan berujar ketus, "Lu ngapain?"

"Bawa lu pergi dari taman yang panas, sepi, dan kelihatan menyedihkan karena kebanyakan siswa lagi di lapangan."

Tertegun dengan sedikit terbelalak, aku tanpa sadar menahan napas beberapa saat. Kemudian hati-hati melirik Juis.

Bukan kalimat itu yang sesungguhnya ingin Huande sampaikan, melainkan makna tersirat di dalamnnya—dia menyindir Juis.

Juis rupanya tak paham. Bila bukan begitu, dia pasti sudah mengamuk—sesungguhnya aku ingin hal itu terjadi saja agar bisa segera lepas dari tingkah memuakkan Huande.

Sekali lagi Huande hendak menggandeng, tetapi aku cekatan mengalihkan tangan. "Kenapa harus elu? Dan kenapa gue harus mau?"

Tatapan Huande sedikit melembut. "Gue mau ngomong, berdua."

"Gak mau!" Aku spontan meninggikan suara. "Apa lagi yang mau lu omongin setelah kemarin ke kafe sama cewek?"

"Apa?" Juis langsung memekik kesal—ini pertama kalinya mendengar hal itu.

Huande terkejut, dia pasti tak menyangka bahwa aku melihatnya di kafe kemarin.

Aku tersenyum miring. "Sekarang lu masih berani sok-sok berduaan sama gue?"

Seketika Huande berubah serius. "Kami kemarin diskusiin pembatalan tunangan!"

Aku tersentak, sontak mematung. Isi pikiran kalut. Hanya dengan satu kalimat, siapa sosok Huande yang selama ini ada di benak, seolah hancur dan berubah lain.

Huande agak menyipit, sorotnya memancar miris. "Lu selalu nyela, ngalihin pembicaraan … tiap gue mau ngomong. Dari dulu gue bilang, ada sesuatu yang perlu lu ketahui. Tapi lu gak pernah dengerin."

Aku sedikit menunduk, mengulum bibir. "Tapi gue bersikap baik cuma biar kita bisa jadi temen, bukan lebih …."

Perlahan mendongak, aku memandang Huande kembali. "Lu terlambat. Semua udah terlanjur kacau. Bahkan sekarang, pertemanan kayaknya menjadi hal mustahil buat kita … kalo sikap lu tetep kayak gitu."

"Kahi—"

"Cukup!" Juis mendadak berpindah tepat di depanku, seakan-akan memisahkan dari Huande. "Sekarang lu pergi! Urusan lu sama Kahiyang udah kelar!"

Seiring pandangannya beralih dariku, Huande berangsur serius—bukan sekadar wajah tenang seperti biasa. Udara sekeliling seketika terasa mencekat. "Lu tahu dari mana kalo urusan gue sama Kahi udah selesai?"

Huande mendorong Juis ke samping, menjauh dariku. Dia melangkah mendekati Juis.

Aku tak bisa mengetahui lagi bagaimana rautnya karena sekarang Huande agak membelakangiku. Entah bagaimana lagi caranya menatap hingga berhasil membuat Juis melangkah mundur. "Siapa lu di antara hubungan gue sama Kahi?"

Aku memejam sesaat, gusar. "Udah cukup …." Berniat melerai, tetapi nyatanya suaraku tak cukup tegas. Rasanya semua masih mengguncang kepala, menjadikan sulit berpikir jernih.

Sungguh tak tahu lagi bagaimana harus mengatasi ini. Aku menghela kasar. "Huande!" Biasanya pemuda itu mau mendengarku, sialnya kali ini tidak. Dasar! Apa yang ada di pikirannya?

"Kalo gue tanya, lu tahu apa tentang Kahi, sejauh mana lu bisa jawab?" Huande justru terus melangkah maju, membuat Juis termundur sekian kali. Selama Huande belum memukul duluan, Juis tak akan menggunakan fisik.

Lantas, bila Huande terus mengintimidasi dengan menggunakan kata-kata—ditambah auranya yang mencekam, Juis kesulitan menyusun kalimat balasan dan tak bisa berkutik sama sekali.

"Gue akui, lu sering bikin Kahi ketawa. Tapi, apa lu pernah jadi tempatnya nangis? Lu tahu luka cewek itu selama ini?"

Itu elu! Kalimat tersebut bisa kuteriakkan kapan saja di hadapan Huande—sebagai respons atas kalimatnya pada Juis barusan, tetapi kali ini tidak.

Semua terlalu berantakan, sampai aku tak tahu mana yang benar dan salah. Pengakuan Huande masih berputar di benakku, kami kemarin diskusiin pembatalan tunangan!

Aku tak bisa mengartikan gejolak mengganggu yang muncul dalam sanubari.

Suara Huande melirih—tetapi penuh tekanan—terdengar dalam dan mengerikan, "Juis, lu—"

"Oh, gue kira di sini gak ada orang."

Suara dari kejauhan, mengalihkan perhatian kami bertiga.

Seorang pemuda melangkah kemari. "Kahiyang, wakil ketua satu. Si wakil ketua dua ini perlu rapat sama lu."

Huande bergegas pergi dari hadapan Juis. "Kahi harus ngomong sama gue." Dia mendadak menggandeng tanganku.

Aku berusaha melepas sekuat tenaga, tetapi Huande menggenggam jemariku terlalu kuat. Sampai tak sengaja mengumpat lirih padanya—aku benar-benar sampai merasa ingin meledak, Haunde tetap kukuh.

"Urusan X Class …," Raung mendekat, mencengkeram kuat lengan Huande sebelum menariknya kasar agar terlepas dariku, "lebih penting."

Sekian detik, Raung bertahan di posisi sambil memandang Huande. Wajahnya sekilas tetap saja datar, tetapi sorot dari mata sipit itu tajam bak elang yang melesat cepat dan siap menerkam mangsa.

Sejak awal, aku memang hampir selalu merasa terpojok oleh tatapan Raung—yang seolah membenciku dari dasar sanubari sampai ingin menghajar habis-habisan. Kali ini, dia seribu kali lebih mengerikan, seperti siap menggunakan seluruh kemampuan Brazilian Jiu-Jitsu untuk menghajar Huande.

Namun, mengapa dia melakukan itu?

Raung berbalik dan langsung melangkah pergi. "Rapatnya bentar lagi mulai, Wakil Ketua Satu."

Kenapa tadi Huande harus mememintaku bergandengan tangan? Mengapa Huande harus mendesak Juis mundur ketika lelaki itu membelaku, tetapi menyerah begitu saja saat Raung datang?

Bukan berarti aku harus kembali ke Huande ataupun berlindung di balik Juis dan Raung, 'kan?

Dengan pikiran kalut, aku menunduk kemudian menyusur jalan serupa dengan Raung. Tanpa menggubris dua orang yang tertinggal di taman sekolah.

Lagi pula, Juis maupun Huande tak menahanku.

"Gue masih enggak traktir lu. Ini cuma bonus dari Mbak Kantin karena katanya gue ganteng." Raung meletakkan sebungkus roti di meja.

Aku sesungguhnya sedang enggan berada di kantin. Terlebih posisi yang bersebelahan dengan lapangan tempat berbagai lomba Pekan Tujuhbelasan diselenggarakan, membuat hampir seluruh siswa berkumpul di sini. Namun, aku juga tak selera intuk meminta Raung pergi ke tempat lain.

Lihat selengkapnya