X Class 007

Adinda Amalia
Chapter #18

18: Cinta dan X Class

Aku tak mengucap sepatah kata usai mengantar Kalia ke sekolah dasar tempat gadis itu belajar, hingga sekarang aku duduk di bangku X Class. Juis sempat melawak di depanku, tetapi kemudian pergi karena tak mendapat respons bagus atau mungkin … auraku terlalu gelap hari ini sampai-sampai dia tak berani mendekat?

Bisa jadi memang benar. Aku susah payah menahan air mata saat pagi tadi, Kalia mendadak tersenyum tipis—dengan mata sayu sambil berkata, "Kakak jangan khawatir, Adek bakal selalu menggenggam tangan Kakak biar kuat!"

Seharusnya aku yang mengucap kalimat tersebut pada Kalia. Gadis kecil itu semakin dipaksa untuk dewasa dan tangguh secara mental, di saat teman-temannya hanya sibuk bermain.

"Gak apa-apa, Kak." Itu yang dia katakan saat aku memeluknya di depan kamar ICU, kemarin malam.

Matanya memancar harapan, yang membuatku kian sesak karena mengetahui Kalia sangatlah sabar. "Kalo Kakak capek, Adek bisa gantiin buat nemenin Bunda kok. Kalia kan gak sibuk kayak Kakak." Dia tersenyum lebar.

Aku mengusap pelan surai Kalia. Aku tahu dia ingin menangis, tetapi berusaha terlihat tegar di depanku. Namun, sorot mata gadis kecil itu tak bisa berbohong tiap kali memandang seseorang yang terbaring di ranjang ICU.

Hingga sekarang, aku sama sekali tak berselera untuk menunjukkan ekspresi tertentu, entah seberapa datar wajahku saat ini. Suasana X Class seiring berjalannya hari hanya kian terasa seperti benang kusut yang makin berantakan, tetapi entah mengapa hari ini, sesuatu yang memuakkan itu sudah seperti gelas kosong mengambang di udara. Mungkin sederhana, hampa? Bahkan terlalu hampa untuk dapat dirasakan.

"Kita gak ada lomba hari ini. Jadi, bisa diskusi tentang takraw, 'kan?" Litan melipat tangan di depan dada, usai menghampiri mejaku.

Aku meliriknya sedikit, menimang-nimang maksud pemuda itu. Terlebih setelah perdebatan kami kemarin dan dia menyuruhku—meski bisa saja tidak serius—berpindah ke kubu Raung.

Litan menghela napas. "Gue kemarin udah susah-susah nego sama Matteo, biar diberi waktu tambahan buat nentuin peserta takraw kelas kita." Dia menggerutu, "Anak OSIS itu agak keras kepala juga."

Litan sedikit mendekat. "Tapi lu tahu kenapa gue mau segitunya ngurusin takraw?" Dia tampak serius dengan suara lirih, "Takraw bisa jadi kesempatan kita buat nunjukin solid. Gak cuma di depan Pak Ramu, tapi semua siswa SMA Jagadhita bakal tahu kalau X Class punya solidaritas!"

Litan tersenyum antusias. "Gimana, keren gak?"

Aku sekadar menatapnya sambil memijat pelipis menggunakan jari telunjuk. Berbeda dengannya, aku sama sekali tak berselera untuk menyusun strategi solid atau sejenisnya. Isi pikiranku masih berkecamuk tak jelas.

"Oh ya, maaf soal kemarin." Litan mengangkat alis, kemudian mengambil napas banyak. "Sebenarnya tentang Raung—"

"Dah, gak perlu." Aku spontan membuat muka. Di dalam dada mendadak panas usai mendengar Litan menyebut nama itu. "Lu nyuruh gue buat gak deket-deket sama dia lagi, 'kan?"

Litan sedikit memelas, "Gue bilang, maaf. Gue gak bermaksud ngomong gitu."

"Lupakan." Aku menunduk, memegangi kepala.

"Kay," Litan hampir berbisik, "lu beneran bisa bujuk Raung, 'kan?"

Aku langsung mendongak guna memandang Litan kembali. Kekecewaan bercampur kesal padanya karena peristiwa kemarin, makin menjadi-jadi ketika melihat dia meminta maaf dengan mudah seolah hanya melakukan kesalahan sepele.

Padahal dia memperparah perasaanku yang telah kacau!

"Gue gak peduli!" Nada bicaraku meninggi seketika. Bangkit dari kursi, kemudian memandangnya dengan sinis. "Lu ketua kelasnya, urus semua sendiri sana!"

Litan terkejut. "Maksud lu?" Raut penuh prasangka itu dipasang lagi, mengesalkan. "Kan dulu lu udah setuju pas gue minta buat ngomong sama Raung."

"Tapi ujungnya lu malah nuduh gue aneh-aneh!"

"Gue udah minta maaf, 'kan? Itu cuma kelepasan emosi aja!" Litan yang sempat terdesak mundur, mendadak melangkah mendekat. "Atau jangan-jangan lu beneran suka sama Raung?"

Aku tersentak bukan main. Kata-kata tentang hati bukan sesuatu yang ingin kudengar saat ini. Terlebih, dari sekian lelaki yang ada, Litan menyebut nama itu—satu dari tiga orang yang tak bisa kutanggapi ataupun abaikan begitu saja.

Bisakah kita berhenti membicarakan tentang perasaan? Aku sudah muak!

Litan tersenyum miring sambil menyibak surainya. Kemudian berteriak kian kencang, "Lu beneran suka 'kan sama Raung? Emang budak cinta ya lu! Sekalinya kecantol sama cowok, udah gak mau mikirin yang lain!"

Benak bagai dihentak seketika. Perlahan tatapan berubah miris, meski mengarah pada Litan, tetapi sesungguhnya aku mengasihani diri sendiri.

Apa Litan benar? Apa aku telah terlena?

"Bangga lu plin-plan kayak gini?" Litan berubah, dia menjadi mengerikan karena telah dikuasai amarah. "Kemarin bantuin gue, sekarang bantuin Raung?" Sama sepertiku, dia rupanya kesal dan kecewa. "Bisa gak sih lu punya pendirian?"

Pendirian? Benar juga, selama ini aku tak memilikinya. Menyedihkan, diriku.

Aku seperti terombang-ambing tanpa bisa melawan. Aku berpura-pura serius memikirkan solidaritas X Class, padahal sesungguhnya hanya mengurus perasaan sendiri—tentang siapa yang boleh dan tak boleh berada di sisiku.

"Ngaku aja!" Litan memekik, membuat perhatian seisi kelas tertuju pada kami. "Lu deket sama Raung cuma dapat bucin, gak ada hasilnya, 'kan?"

"Iya!" Aku memekik kencang sampai terengah. Jawaban barusan tak sepenuhnya benar—bukan Raung, melainkan Juis. "Gue emang bucin! Lemah urusan cinta! Puas, lu?"

Aku tanpa sadar telah terlena oleh lelaki itu, Juis.

Tertawa karenanya.

Lihat selengkapnya