Ronde kedua terus berlanjut. Huande mengembalikan bola dengan pelan dari belakang lapangan. Terik matahari kian menusuk kulit. Permainan sudah lebih dari setengah jalan. Keringat bercucur deras bercampur lelah rupanya sedikit mengganggu konsentrasi mereka.
Mendadak datang smash dari lawan. Sangat cepat dan menukik tajam, menuju tengah lapangan, sisi paling jauh dari penjagaan tiap pemain tim X Class. Ketiganya kompak menoleh ke arah bola dengan wajah terkejut.
Bagiku sudah jelas, satu poin tambahan untuk tim lawan akan segera datang.
Namun, bola tiba-tiba melambung tinggi. Raung telah nyaris sepenuhnya terbujur di tengah lapangan, dia barusan menyelamatkan bola!
Operan mengarah ke Huande.
“Langsung, De! Sebisanya!”
“Oper balik!”
Keduanya spontan saling pandang. Sama-sama mengerutkan alis. Beradu sorot mata menusuk.
Huande yang terlanjur menerima bola, kebingungan. Akhirnya, dia tak menendang ke arah lawan maupun dioper ke Raung dengan baik.
Raung mendecak—aku langsung terbelalak, dari kejauhan pun amarah pemuda itu terasa sangat kuat, membuat bergidik ngeri. Lantas berputar dua kali, sebelum salto sambil melompat, guna meraih bola di udara dan menendangnya kencang ke arah lawan.
Seorang tim lawan melompat dan merentangkan satu kaki untuk melakukan blocking. Namun, sia-sia, arah bola dari Raung menukik ke samping dengan kecepatan tinggi. Langsung jatuh di lapangan mereka.
Satu poin untuk X Class.
Sorak sorai menggema kencang saat Raung mendarat dari roll spike smash dengan sempurna. Ronde kedua berakhir, dimenangkan oleh X Class dengan skor 10-21. Antusias penonton seketika meningkat, pertandingan tiba-tiba saja menjadi sangat tegang.
Sayang, keadaan tim pemenang ronde ini justru berlawanan dengan penonton. Jangankan tersenyum, mereka justru saling memandang dengan emosi bergejolak. Seolah bumi tersisa ketiga orang itu, tanpa sinar matahari. Gelap mengelilingi, dengan api panas di tengahnya.
Litan tanpa ragu menghampiri Raung. “Lu ngapain?” bentaknya. “Jangan ngambil keputusan bodoh! Kalo gue udah—”
Raung tak menggubris dan malah beranjak dari lapangan.
Amarah Litan kian menjadi-jadi, dia langsung menarik kaos Raung, menarik pemuda itu ke hadapannya. Lantas mengangkat satu tangan yang mengepal kuat-kuat.
Namun, sebelum pukulan mendarat di paras Raung, sang sabuk hitam Brazilian Jiu-Jitsu itu lebih dulu menghempas tangan Litan. Kemudian, mencengkeram satunya dan melepas kasar dari kaos pemuda tersebut.
Aku tanpa sadar menahan napas. Untuk pertamanya merasa benar-benar takut hanya dengan melihat Raung. Lain hari mungkin aku membulatkan tekad untuk setidaknya menghampiri mereka dan mendinginkan suasana, tetapi kali ini tak berkutik sama sekali.
“Gue punya cara sendiri.” Raung berlalu begitu saja, menjauh dari Litan yang tampak seperti singa siap menerkam mangsa dengan memamerkan taring-taring tajam—sangat marah.
Sampai di pinggir lapangan, Raung dihadang oleh Ogya yang mendadak menghampirinya dan berujar kesal, “Kenapa lu gabung tim?”
Aku sedikit tersentak mendengarnya. Kemudian cepat-cepat memasang telinga, perkara ini seribu kali membuatku lebih penasaran daripada hal-hal lain.
Dengan santai, Raung menegak air minum usai mengambil salah satu botol. “Jangan salah sangka, bukan berarti gue menolak upaya solid.”
Ogya tertegun seketika, begitu pun denganku.
Jadi itu maksudnya selama ini? Kalimat yang kerap diucapkan, gue punya cara sendiri, ternyata menyiratkan bahwa dia bukan sepenuhnya menentang rencana-rencana solid yang telah disusun Litan!
“Raung.” Ogya mengerutkan alis. Sedikit menunduk. Memandang pemuda itu dengan murka yang belum pernah terlihat sebelumnya. “Gue ada di kubu yang sama kayak lu!”
Raung tertawa kecil meremehkan. “Kayaknya lu salah paham. Pembentukan dua kubu di X Class adalah karena kalian sendiri. Padahal gue gak ngomong apa-apa, gue juga gak minta lu buat belain gue.” Dia berlalu kembali ke lapangan. “Gue gak ngerasa pernah membentuk kubu.”