Hari ini, aku sama sekali tak berselera untuk menampilkan wajah ketus layaknya beberapa waktu belakangan. Bukan tanpa alasan, kemarin sore, aku tak sengaja mendengar sesuatu.
Padahal, pikiran menjadi kian kalut, tetapi gejolak di dada mereda begitu saja. Sudah begitu, rasanya sesak dan aku selalu saja ingin menangis bila mengingat kejadian kemarin sore.
Bahkan saat ini, tanpa sadar pipi telah basar. Bergegas aku mengusap wajah, saat mulai mendekati kelas dan terdengar suara seorang siswa lelaki yang asing, “Kalian mah cuma beruntung doang!”
Tepat di lorong depan ruang kelas kami, ada seorang siswa lelaki yang cukup asing. Dia dengan seenaknya koar-koar, “Anak-anak X-IPA 6 pada gak siap, makanya kalian punya kesempatan buat menang!”
Dia memandang rendah kami, wajahnya benar-benar mengesalkan. “Lagian semua siswa juga tahu kok. Selama pertandingan, anak-anak X Class sama sekali gak solid!”
Kian lama suara lelaki itu berputar di kepala, semakin jijik aku melihat tingkahnya. “Dasar gak guna! Andai aja X Class gak diisi sama kalian, tujuan solid itu pasti udah lama terpenuhi!”
Sebelah alisku terangkat. Mau apa anak ini sebenarnya?
Dia mendorong salah satu pintu kelas yang terbuka sehingga menutup dengan kencang. “Ruang kelas mewah itu, kalian gak pantas buat menghuninya! Pak Hakim benar, kalian cuma bisa mengecewakan harapan Pak Kepala Sekolah!”
Usai tertawa remeh di depan kami—kebetulan ketujuhnya berkumpul di sini, dia berbalik dan hendak pergi. Namun, dia mengurungkan niat saat Raung menyahut, “Kayaknya kita perlu membahas ini dengan serius, Arjita.”
Arjita?
Lelaki itu, Arjita, membalikkan badan kembali, memandang Raung.
Sang wakil ketua dua, menyipitkan mata hingga sorot tajamnya menjadi-jadi. Bagai elang mengunci targetnya. “Kenapa, lu gak berani?”
Dia pasti menyadari bahwa Raung mencoba memojokkannya. Memang tipikal semacam itu, Arjita mana mungkin mau tinggal diam. Dia tersenyum miring, sekarang malah mendekat ke arah kami.
Litan berujar serius, “Delapan puluh persen dari ucapan lu emang benar, tapi lu gak buat pantas asal ngomong kayak gitu.” Tatapannya sedikit berubah tajam. “Lu gak tahu apa pun tentang kami.”
Sang ketua kelas menuturkan, “Solid bukan perkara mudah. Lu gak percaya? Coba ajak temen-temen sekelas lu buat drama terus ditampilin bareng di depan siswa satu sekolah. Gak bakal selesai dalam semalam, ‘kan?”
Litan melirik sebentar ke arah kami berenam. “Udah gitu, siswa-siswa di X Class punya karakter yang berbeda. Sekarang lu bayangin, gimana caranya menata tujuh batu berlainan bentuk dan ukuran, buat menjadi sebuah papan kayu dengan sempurna tanpa membuatnya miring, apalagi jatuh.”
Hapi selangkah mendekat ke Litan. “Iya, benar! X Class cuma butuh waktu aja buat belajar jadi solid!”
Arjita berteriak kasar, “Bocah, lu berisik doang! Jangan berlagak kayak lu ngerti urusan ini! Omongan lu gak masuk akal! Mau dikasih waktu sampai kapan pun, kalian tetap aja gak bakal bisa solid!”
Huande yang biasanya paling tenang di antara kami, tiba-tiba saja berubah agak mengerikan. Caranya memandang Arjita seolah tak sudi memberi ampun. “Gue gak suka lu sok tahu tentang X Class kayak gitu.”
Arjita sedikit mendongak, “Gue beneran tahu kok … kalo X Class tuh cuma tukang ngerepotin, bikin para guru membuang anggaran maupun tenaga dan usaha selama rapat berkali-kali, karena program yang diharapkan sama mereka ini, malah kalian buat mainan.”
Juis seketika tampak murka. “Ulangi!” Dia mememkik kian kencang, “Ulangi kalo berani!” Lantas mendekat ke lelaki itu. “Asal lu tahu aja, ya! Kali ini, gue gak masalah kalaupun sampai ketahuan Pak Hakim … karena menghajar lu!”
Juis memercing mengerikan. Kedua tangannya terkepal sejak tadi, siap meluncurkan pukulan kapan saja. “Gue udah gak mungkin bisa sabar! Lu berani-beraninya ngatain X Class di depan gue, untuk kedua kalinya!”
Aku terkejut bukan main. Pantas saja lelaki itu terlihat sedikit familier. Dia adalah anak Kelas Bahasa yang hampir dihajar Juis hari lalu. Lantas alasan di baliknya ternyata adalah… dia menghina X Class.
Raung mendekat ke Arjita—sekaligus membuat Juis menyadarkan diri dari emosi yang kurasa nyaris membuatnya lepas kendali, “Lu hobi jadi samsak tinju, ya?”
Arjita malah balik bertanya, “Lu pengen diskors lagi?”