X Class 007

Adinda Amalia
Chapter #22

22: Kursi X Class

Sebenarnya siapa yang buruk, Arjita atau kami?

Aku tak menyangka akan mendengar sesuatu seperti ini. Kupikir semua berakhir setelah mengetahui bahwa ternyata keputusan Litan untuk memilih Raung tak buruk-buruk juga. Namun, siapa kira masih ada yang disembunyikan.

Sedari tadi Litan menunduk. Sekian detik kemudian, dia menggeram erat dan hendak bicara. Namun, Juis mendahului, “Siswa yang pantas masuk X Class, gak menghina orang lain kayak itu.”

Juis tak memekik seperti orang mengamuk. Caranya berucap barusan, dengan jauh lebih tenang daripada biasa. Sudah begitu, aku merasa sanubari kami semua terwakili olehnya.

Sedikit, situasi mulai kembali seperti semula.

Arjita langsung kesal lagi. “Siswa yang pantas masuk X Class, gak mudah main tangan!” 

Sekejap kemudian, ketenangan Juis lenyap. Matanya bak menyala merah, seolah memiliki tanduk yang mencuat tajam, dan gigi yang mengatup erat seakan-akan memamerkan taring.

Juis berteriak kencang seraya menendang perut Arjita, “Lu yang mulai duluan!”

Arjita terlempar, tergeletak di lantai beberapa meter dari tempat semula.

Juis langsung menghampirinya. Menarik kerah kemeja Arjita seraya memaksanya bangkit. Dia menatap lelaki tajam. Wajah mengerikan itu kian menjadi-jadi, hampir tak lagi terkesan seperti manusia lagi.

Sempat merintih, Arjita lantas berujar tegas dan penuh amarah, “Seseorang dari kalian harus pergi biar gue bisa masuk X Class!”

Tiba-tiba saja aku merasa tercekat. Hanya satu kalimat, tetapi membuatku ketakutan setengah mati. Itu skenario terburuk yang menyesakkan! Bila kelak benar-benar terjadi, aku tak tahu bagaimana caranya untuk duduk di bangku kelas seperti hari lain seolah tiada apa pun terjadi!

Udara di sekitar mendadak panas. Aku tak tahu apa yang masing-masing dari mereka pikirkan, tetapi emosi kami sama.

Seketika Juis berteriak sangat kencang, “Bacot lu, sembarangan!” Dia mencengkram erat kerah kemeja Arjita, dengan mata terbuka lebar dan napas menderu. “X Class bukan sesuatu yang bisa lu atur sesuka sendiri, sialan!”

Pukulan keras mendarat di pipi Arjita. Hanya menimbulkan bunyi lirih, tetapi terus berputar-putar dalam benakku seolah waktu berjalan lambat. Dari situ, aku dapat mendengar seksama, lantas merasakan bahwa amarah Juis yang tak tanggung, ikut merambat keluar.

Kuda-kuda pemuda bule itu berbeda dibandingkan hari lalu ketika dia berhadapan dengan Arjita. Sorot mata tajamnya terkesan aneh—aku hampir sepenuhnya yakin dia kehilangan kendali.

Pemuda itu akan menjadi hewan buas.

Sekejap kemudian, Juis menendang tubuh Arjita yang masih tergeletak di lantai hingga berguling ke posisi terkurap. Tangan terkepal kembali secepat kilat. Namun, dia tak bisa memukul lagi.

Pasalnya, sedetik yang lalu, keputusanku untuk tidak mempedulikan orang lain akhirnya patah. Aku berlari dan langsung menahan tangan Juis. 

Bukan tanpa alasan, sanubari bergejolak tiada henti—bahkan semakin menjadi-jadi— semenjak peristiwa kemarin sore yang tak sengaja kudengar dari balik pintu kelas. “Apa maksudnya lu mutusin Kahiyang karena mau tunangan?” Suara lirih Juis yang penuh tekanan, sayup-sayup terdengar.

Huande mendecak, lantas menghela nafas pelan. “Lu denger sendiri, ‘kan? Orang tua yang jodohin gue sama cewek lain.”

Juis menggebrak sesuatu. Dia terdengar sangat jengkel, “Kahiyang ada di sisi lu waktu itu! Jangan main-main!”

Huande berujar dengan tenang, “Maka karena itu.”

Sekian detik, tak terdengar ada respons dari Juis. Sepertinya pemuda itu bertanya-tanya, begitu pun diriku.

Lihat selengkapnya