Tujuh kelas berpartisipasi dalam sekali sesi lomba pukul kendi. Masing-masing membawa dua perwakilan siswa. Satu memakai penutup mata dan membawa tongkat. Sementara lainnya bertugas memberi arahan agar temannya bisa memukul kendi dengan pas.
Juis bersemangat. Terlebih saat mengetahui bahwa dia bersebelahan dengan Raven. Juis sepertinya tak mau kalah, ingin juga terlihat menggoda dengan raut wajah dibuat-buat selagi memakai tali penutup mata berwarna hitam yang sisanya menjuntai di belakang kepala.
Raven memang terlihat menawan, tetapi Juis malah tampak bodoh.
Tanda bersiap telah dibunyikan. Pemain yang bertugas sebagai pemukul, diminta untuk berputar-putar di tempat, dibantu—agar tidak berputar sampai ke mana-mana—oleh rekannya yang bertugas sebagai pemandu.
Namun, Ogya tak melakukan itu. Alhasil, Juis tak karuan gerakannya. Hingga menabrak-nabrak pemain dari kelas lain. Meski begitu, pada akhirnya pemuda bule itu secara kebetulan bisa kembali ke tempat semula yang seharusnya.
Peluit berbunyi kencang, lomba dimulai. Seketika, Ogya menyeru, "Maju!”
Dengan kecepatan kilat, Juis berlari. Dia mendahului enam peserta lain. Menuju sebuah kendi yang dipasang tiga meter dari permukaan tanah, sasaran yang diperebutkan oleh tujuh perwakilan kelas di lapangan.
Bola mataku melebar, takjub. Keputusan untuk mengganti peserta pukul kendi—perwakilan X Class—dari Hapi ke Juis, ternyata merupakan pilihan luar biasa yang tak kusangka.
Juis bukan hanya lebih tinggi dibandingkan Hapi sehingga mudah menggapai kendi, kemampuan fisiknya yang sangat unggul juga memberi banyak keuntungan pada lomba kali ini.
Tinggal mengangkat tongkat dan memukul kendi … kita akan menang dalam sekejap.
Namun, ternyata perkiraanku salah.
Aku yang semula terbelalak karena takjub, kini berubah panik.
Ogya tak kalah gaduh, langsung memekik kesal, "Kebablasan!"
Juis langsung berhenti. Dengan penutup mata yang membuat indra penglihatannya tak bekerja, wajah kebingungan Juis tampak dua kali lebih bodoh daripada biasa. Dia menoleh kanan kiri, benar-benar buncah harus berbuat apa.
Ogya menyeru, “Balik!”
Juis sedikit menggeser posisi tubuh, menghadap arah lain dari sebelumnya.
"Kiri, kiri, kiri!"
"Kek mau turun dari angkot aja!"
Ogya mendecak. "Emang lu pernah naik angkot?"
Juis terkekeh. “Enggak sih.”
Wajah Ogya tampak masam sesaat. "Terus, Ju! Masih kejauhan lu!" serunya lagi. "Kiri, kiri, ...."
"Kiri terus sampai Monas nih!"
Ogya menyambar cepat, "Diam lu!"
Si pemuda bule di sana, mengerucutkan bibir kesal. Sejenak kemudian, dia mengomel, "Ke mana lagi nih gue?"
Tampak ogah-ogahan, Ogya melanjutkan, "Kiri, kiri!"
"Dari tadi kiri mulu!"
Ogya memekik kian kencang—aku agak takut dia akan mengamuk, "Nurut! Cepet!"
Pada akhirnya Juis tetap memenuhi arahan dari lelaki itu, meski sambil menggerutu tak jelas yang sengaja disuarakan kencang.
Sekejap kemudian, Juis langsung bungkam saat Ogya menggertak, "Elunya yang madep ke kiri, Juis! Jangan jalan miring kek kepiting gitu!"
Aku menggaruk rambut gusar. Terlebih, perwakilan X Class menjadi peserta lomba pukul kendi yang paling ricuh sendiri. Ogya sejak awal sudah agak emosi, Juis lama-kelamaan terpancing amarah pula.
Seiring durasi lomba terus berjalan dan suara para pemain kian bersahut-sahutan, teriakan Ogya semakin jelas bahwa dia kesal dan rupanya ingin segera pulang saja, “Itu tadi bukan gue yang ngasih arahan!"
Aku menepuk jidat. Dasar Juis, bisa-bisanya dia tak mengenali mana yang merupakan suara rekan sekelas dan bukan!
Sepertinya tak ada harapan ….
Padahal di permulaan tadi, Juis sudah mencapai kendi—walau kebablasan. Kini, dia malah semakin jauh dari target tersebut. Sementara pemain lain sudah mulai berkumpul di dekat sasaran dan siap memukul.
Bukannya mendekati kendi, Juis malah menjadi satu-satunya peserta yang berjalan menjauh.
Aku menghela napas. Kalah sudah kita ….