X Class 007

Adinda Amalia
Chapter #25

25: Pigura Itu

Telah lama aku selalu membayangkan akan adanya skenario terburuk. Namun, yang tak kusangka, hal itu tiba-tiba datang secepat ini. Di saat aku belum siap, dan bahkan berada di kondisi yang justru membutuhkan banyak energi positif dari sekitar.

Hari di mana aku tak memiliki lagi tempat untuk mengalihkan sejenak beban di pundakku.

Semula berlari, kini langkah kaki melambat. Perlahan aku menyadari apa yang ada di depan mata. Bangunan familiar, apalagi cat dinding, bentuk pintu serta jendela, dan bunga-bunga kecil yang menghias halaman.

Kediamanku yang paling nyaman.

Namun, kini terasa menyesakkan.

Tempat di mana aku biasa mencurahkan perasaanku tanpa ragu, sekarang justru memaksaku untuk tak boleh meneteskan air mata. Lebih tepatnya, aku yang merasa tak pantas untuk menangis. Entahlah, semua berbenturan terlampau kencang saja.

Sebuah mobil khas rumah sakit bertengger di jalanan depan rumah. Para tetangga yang tidak terlalu asing, entah sejak kapan telah berkumpul. Sebagian besar bergerombol di satu titik rumah—aku tak berani menjadi mencari tahu apa gerangan di sana, meski di dalam hati sesungguhnya telah merasakannya.

Perhatian teralih saat suara cukup familiar sayup-sayup terdengar, “Kahiyang.” Pak Ramu melangkah kemari. Beliau memaksa senyum tipis mengembang.

Pak Ramu mengusap suraiku perlahan. "Nak, semua bakal baik-baik saja. Kamu gak perlu khawatir."

Aku mendongak, menatap beliau. Meski di dada terasa nyeri kian menjadi-jadi, aku memaksa sudut bibit untuk terangkat. "Saya gak apa-apa, kok."

Tidak, itu salah.

Aku benar-benar hancur.

Pak Ramu berkata bahwa beliau akan mengurus seluruh prosesi pemakaman dan keperluan lain. Maka karena itu, aku diminta tenang saja dan tak perlu memikirkan apa pun. Setelan baju hitam juga telah disiapkan di ruanganku.

“Kak ….” Itu suara Kalia, dia mengintip dari celah pintu kamar usai aku selesai berganti pakaian. Mengetahui aku sedikit menoleh, dia memasuki ruang dan melangkah mendekat. "Kak, Bunda mana?"

Leherku seketika terasa bak tercekat. Tak sedikit pun suara bisa keluar.

Itu pertanyaan tersulit yang mungkin untuk datang di situasi seperti ini. Sial, aku tak berani menjawab! Mata berbinar-binar Kalia yang siap meneteskan air mata, sudah cukup menyiksa. Aku tak bisa membuatnya tersakiti lebih jauh lagi! 

Kalia bergumam memelas, kemudian berujar lagi, "Bunda mana?"  

Dia terus menanyakan pertanyaan serupa. Membuatku merasa sesak dan kian sesak. Sekujur tubuhku terasa bagai remuk berantakan, menjadi berkeping-keping. Tiada lagi secercah titik di dunia, yang bisa membuatku tenang.

Semula aku tak merasa cukup pantas untuk menangis. Namun, tiba-tiba saja saat berada di depan Kalia, air mata dengan mudahnya menerobos. Aku sungguh enggan terlihat lemah di hadapan. Aku ingin setidaknya menjadi tempat terakhir bagi gadis kecil itu untuk menopang. 

Namun, sekarang aku tak ada bedanya dengan Kalia. Kami sama-sama runtuh.

“Kak, Bunda ….”

Ragaku terasa bak diinjak kian kencang, saat Kalia masih saja menanyakan hal yang sama, terlebih sambil menarik-narik setelan gaun hitam sederhanaku. Aku tahu sesungguhnya gadis kecil itu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dia hanya ingin seseorang menepis fakta untuknya. Namun, aku tak bisa.

Menyeka pipi yang kian basah, aku menarik napas banyak. Meredakan sensasi bak tali melilit dada kuat-kuat.

"Kahiyang, Kalia." Sayup-sayup terdengar suara Pak Ramu, beliau berdiri di balik di pintu yang terbuka sedikit.

Kalia akhirnya lebih tenang, tak lagi merecokiku dengan pertanyaan-pertanyaan yang bisa membuat gila.

Pak Ramu memasang wajah lembut. "Kita perlu berangkat."

Aku tak mengatakan sepatah kata. Sekadar memandang beliau dengan raut miris. Sebagai anggota keluarga tertua yang tersisa, aku tahu apa peran yang perlu diambil di pemakaman ini.

Sebuah senyuman mengembang, Pak Ramu pasti berusaha menghibur kami. Jujur, keberadaan beliau di sini sangat kusyukuri. Jika tak ada seorang pun yang bersedia mengatur pemakaman, aku mungkin sudah pingsan.

Sebagai balasan dari ucapan beliau barusan, aku mengangguk kecil.

Prosesi pemakaman dimulai. Aku berjalan di depan bersama tetangga-tetangga terdekat—ini seharusnya saudara, tetapi kerabat terdekatku saja berada di luar pulau. Kalia entah di mana, semoga Pak Ramu mengurusnya.

Bingkai foto seorang wanita yang kupegang menggunakan dua tangan, terasa sangat berat. Seiring langkah bertambah, meninggalkan rumah, satu persatu kenangan penuh canda tawa runtuh. Dunia yang berputar di sekelilingku, bagai lenyap.

Lihat selengkapnya