Aku bergegas melepas pelukan Litan dan melangkah mundur. Buru-buru mengusap wajah yang basah karena air mata, sambil membalikkan tubuh, membelakangi mereka.
Yah, mereka! Aku baru menyadari bahwa lima siswa X Class lainnya juga hadir, berdiri tak jauh dari Litan.
“Lu bikin gue malu aja ….” Dari leher sampai kepala terasa memanas. Pipiku pasti merah tak karuan. Sial! Beraninya tadi Litan menawari pelukan di saat ada mereka di sana! Dasar!
Meski tak menyuarakannya, aku tahu di dalam hati Litan tertawa kencang. Apa-apaan? Dia benar-benar puas menjahiliku! Mentang-mentang kami sudah kenal sejak kecil, dia berani bersikap begitu di depan yang lainnya!
“Kenapa sih Kay …,” Litan sok mengomel.
Aku menengok sedikit. Cemberut sambil meliriknya tajam, telah memikirkan topping apa yang seharusnya kutaburkan usai meletakkan Litan di atas piring bersama saos dan bumbu kacang.
Dia benar-benar menyebalkan kali ini!
“Gitu-gitu, lu sebenarnya tersenyum, ‘kan?” Suara Litan melirih. Dia agak mengangkat alis. Tatapan pemuda itu berubah lembut. “Bunda pasti senang, karena lu gak larut dalam kesedihan.”
Aku tersentak, sedikit terbelalak. Kemudian perlahan memandang depan kembali, dengan posisi masih membelakangi Litan dan lainnya. Aku penasaran apakah Bunda sungguh berpikir demikian.
Semula lebih cenderung meragukan. Namun, saat memandang nisan bertulis namanya—dan tiba-tiba saja aku terbayang wajah Bunda yang tersenyum tulus, anggapanku berubah.
Litan terdengar menghela napas panjang. Lantas, usai berselang sebentar, dia buka suara lagi, “Tuan Putri … apa mau diantar pulang?”
Aku tak bisa menjawab. Meski suasana hati sudah membaik, entah mengapa aku masih tak mau mengakui fakta bahwa kediaman kami setelah ini pasti menjadi terasa lebih sepi dibandingkan biasanya.
Litan melanjutkan dengan suara lembut, “Kalo belum siap, lu boleh mampir ke rumah gue dulu.”
“Maaf tadi agak terlambat. Soalnya kita keduluan dikasih tahu panitia lomba orasi kalo lu mengundurkan diri, kami perlu nanggung hukumannya dulu.”
Aku terkejut, spontan menoleh ke sang tuan rumah yang duduk di ujung sofa ruang tamu. “Loh, hukumannya yang nanggung kalian?”
Litan sepertinya juga sedikit terkejut karena mendapati ketidaktahuanku tentang hal itu. “Lu ‘kan jadi peserta lomba orasi sebagai perwakilan X Class. Kalau ada apa-apa—menang, kalah, mengundurkan diri—yang kena dampaknya ya sekelas.”
Aku menjadi merasa bersalah. Akibat keputusan sepihak yang kuambil, mereka terkena pahitnya. “Hukumannya apa? Gak berat, ‘kan?”
“Gue rasa enggak berat sih ….” Litan mengangkat alis. “Tapi …,” dia melirik ke seseorang tak jauh darinya, “Juis dapat hukuman paling banyak.”
“Apa?” Mengerutkan alis, aku mengalihkan pandangan menuju pemuda bule itu.
Litan tertawa miris. “Kami disuruh membersihkan lab; biologi, kimia, fisika, bahasa, komputer, medis, dan peradilan semu. Tempat-tempat itu nyaris gak terawat karena terbengkalai selama seminggu karena adanya Pekan Tujuhbelasan.”
Sang ketua kelas melirik si pemuda bule. “Satu ruang buat masing-masing orang. Tapi, karena ada satu yang gak hadir, maka harus ada yang menggantikan. Juis nanggung dua, punya lu dan punya dia sendiri.”
Tiba-tiba saja Juis menunduk. Mengusap wajahnya berkali-kali. Kemudian isak tangis terdengar. Sungguh, itu menjijikkan! Hukuman dari lomba orasi tersebut tak seberat itu, mengapa reaksinya alay begini?
Aku memandang nanar pemuda bule itu, dengan raut malas nan terheran-heran. Tak habis pikir. “Yang seharusnya nangis itu gue ….”
Lagi pula, barusan adalah pemakaman bundaku, bukan bunda Juis ….
“Kenapa sih lu?” Aku menjadi kesal dibuatnya. “Capek gara-gara nanggung dua hukuman? Ya udah, mau apa? Es krim?”
“Kagak!" Juis langsung membela diri. "Kalia kali tuh lu kasih es krim!” Berselang sebentar, Juis yang semula membuang muka, tiba-tiba menatapku dengan wajah sok manis. “Eh, tapi gue sebenarnya juga mau-mau aja sih.”
“Kahi, gue boleh nampol Juis gak sih?” Ogya tampak ogah-ogahan, tetapi sepertinya juga sedang menahan gusar.
Tanpa benar-benar menunggu responsku, Ogya langsung mengangkat salah satu tangan. Lantas melayang kencang ke arah Juis. Spontan pemuda bule itu menahannya, dengan wajah bersungut-sungut. Merasa tak terima.
Si lelaki menggemaskan tiba-tiba menyahut penuh semangat, “Hapi juga mau es krim!”
Litan mengangkat alis. Rupanya dia rela meladeni perbicaraan tak berguna ini. “Iya, iya, deh … nanti gue beliin.” Lantas beralih ke seorang gadis kecil di sebelah Hapi. “Kalia juga?”
Seketika perhatianku beralih ke gadis kecil itu. Dia sedikit terkejut mendengar tuturan Litan, tetapi kemudian sudut bibirnya terangkat, meski tak terlalu tinggi.
Sedari tadi aku tak berhenti memikirkan Kalia, aku takut bila dia merindukan Bunda. Namun, usai melihatnya memasang wajah seperti itu, aku bisa sedikit bernapas lega. Hapi juga sangat membantu, dia terus mengajak adikku mengobrol agar merasa nyaman.
“Emm …” Juis menggaruk rambut gusar. Dia sedikit cemberut. “Bukan gitu maksud gue.”
Udara sekeliling mendadak berubah, menjadi penuh tekanan. Terlebih, tak ada lagi seorang pun berbicara atau mengoceh tak jelas seperti barusan. Menambah aura serius dan sedikit tak enak, memenuhi ruang.
Juis menatapku sesaat—sekilas aku bisa melihat raut pemuda itu sudah seperti orang yang baru saja diomeli atas perbuatannya yang merepotkan, lantas menunduk. Garis wajahnya malah kian muram.
Biasanya, bila seperti ini, aku yang akan inisiatif bertanya ada apa, kemudian membujuknya agar lebih tenang dan berkenan cerita. Namun, saat ini suasana hatiku belum benar-benar membaik, aku hanya akan diam dan menunggu Juis mempersiapkan diri.
Suasana kali ini cukup membuatku bergidik ngeri. Pasalnya, Juis lebih sering kulihat sebagai sosok yang periang. Dia hampir belum pernah murung sebelumnya, sampai-sampai bak rela mengorbankan apa pun sebagai balasan. “Gue minta maaf.”