X Class 007

Adinda Amalia
Chapter #28

Epilog 01: Siblings

"Mami, Kakak bisa bantuin?" Aku menghampiri seorang wanita di depan dapur.

Wanita itu tersenyum. "Udah hampir selesai, Nak. Taruh piring-piringnya di meja."

Aku mengangguk, lantas menurut.

Beradaptasi dengan tempat baru tentu tak bisa dilakukan dalam semalam. Akan tetapi, perhatian Mami dan Papi, serta sikap ceria Kalia sangat membantuku untuk membangun rasa nyaman.

Kediaman mewah ini sangat berbeda dibandingkan rumah sederhana yang dulu kutinggali. Lantai satu berisi garasi, ruang tamu, ruang tengah, ruang makan, serta dapur, tak lupa pelataran di halaman depan dan belakang. Lantai dua berisi beberapa kamar tidur, ruang belajar, ruang bermain, serta balkon luas dengan kursi estetik dan tanaman-tanaman hias.

Itulah mengapa, berkenalan dengan seisi rumah ini hanya perlu waktu beberapa hari dan aku bahkan dengan cepat sudah bosan. Mengelilingi kediaman besar kami tak lagi menarik. Hal yang tetap terasa menyenangkan sekaligus menggelitik adalah satu ini:

Huande menyusul ke dapur. "Makan malam udah siap, Mi?"

Mami tersenyum, melangkah menghampiri kami berdua yang telah lebih dulu berada di meja makan. “Duduk, Nak. Papi sama Adek pasti bentar lagi datang. Oh, ya, Abang punya tiramisu di kulkas, 'kan? Biar buat Kakak sama Adek."

Aku terkejut. Huande tak pernah mengatakan tentang tiramisu—sesungguhnya aku juga tak terlalu tertarik. Pemuda itu mematung sesaat—wajahnya sedikit membuatku merasa sungkan, kemudian mengangguk seraya beranjak dan kembali berselang sebentar dengan membawa hidangan tersebut.

Kemudian, di lain hari, teriakan Kalia yang semangat bermain miniatur pesawat, terhenti saat pintu rumah terbuka. Kami bertiga menyapa Papi dan Mami yang datang dari acara silaturahmi kecil-kecilan.

Huande sumringah melihat tas tenteng kertas yang bergambar salah satu logo makanan populer. "Wah, dapat camilan dari teman lagi, Mi?”

Mami tersenyum, kemudian berjalan ke arahku sambil menyodorkan tas tersebut. “Buat Kakak sama Adek, ya? Abang ‘kan udah sering.”

Dengan cepat, kalimat itu menjadi ucapan Mami favoritku. Mendapatkan perlakuan istimewa tak terlalu kuharapkan, ekspresi Huande sesaat setelah mendengar kata-kata itulah yang membuatku ketagihan.

Dalam sehari, kalimat sama bisa terulang sampai berkali-kali.

“Kakak sama Adek aja, ya …."

“Kakak sama Adek, ya ....”

"Kakak sama Adek …."

"Kakak, Adek …."

Kemudian, masih ada lagi. Hari itu, Mami sepertinya sibuk dengan sesuatu. Aku sedang belajar di ruang tengah, sambil sesekali membantu Kalia mengerjakan tugas. Tiba-tiba, Mami menyeru, “Abang!”

Huande yang semula duduk selonjoran menyandar sofa di depan televisi tanpa semangat—sudah seperti orang kehilangan motivasi hidup—tiba-tiba melonjak dapat sekejap. “Yes, akhirnya Abang!”

“Tolong benerin tirai jendela, dong. Papi lagi kerja, kalo nungguin pulang nanti kelamaan."

Senyum paksaan Huande mengembang. "I … iya, Mi."

Berselang beberapa menit, Huande kembali ke ruang tengah. Asal meletakkan tubuh di atas sofa. Menimbulkan goncangan, memaksa perhatianku dan Kalia—yang duduk tak jauh darinya—sedikit terebut. “Lama-lama, gue dicoret dari KK ….”

Aku melirik pemuda itu malas. "Namanya juga anak sulung."

Huande membalas tatapanku tak tak kalah tajam. Aku benar-benar heran, ke mana si pemuda berperawakan tenang itu? Hanya muncul ketika di luar rumah? Dasar! “Ngapain sih elu pake tinggal di sini segala?”

Aku terkejut bukan main. Spontan menggeser posisi duduk guna menghadapnya sempurna seraya mengerutkan alis. “Kok lu jadi gitu sih?”

Huande mendecak. Kemudian memalingkan wajah, lantas menggerutu, "Tahu gitu gue gak pernah nembak lu dulu …."

Aku kesal setengah mati. Sungguh. Beranjak dari sofa, aku asal meraih bantal kemudian melemparkan ke pemuda itu. "Dasar! Lu cuma younger sibling blues! Ngaku aja! Kebiasaan jadi anak tunggal sih lu, manja! Iri lu kalo punya adek yang lebih diperhatiin sama Papi Mami?"

Huande tiba-tiba beranjak, melangkah pergi. Dia tak memandangku sama sekali. "Gak tahu! Capek! Gue mau mencoret diri dari KK aja!"

Aku tertawa puas, seiring pemuda itu menjauh. Mengganggunya di saat seperti ini entah mengapa sangat menyenangkan. Dia yang lebih dulu menjadi tuan rumah, tetapi aku yang berkuasa. Memang menyenangkan menjadi adik.

Lihat selengkapnya