Pekan Tujuhbelasan yang berlangsung selama beberapa hari lalu, menjadi event yang penuh moment. Namun, itu hanya berlaku bagi kelas lain. Tidak dengan X Class. Pasalnya, kami masih disibukkan oleh tujuan solid serta berbagai pertengkaran.
Kami baru merasakan moment serupa Pekan Tujuhbelasan, usai satu semester berlalu dan Class Meet diselenggarakan. Ajang satu ini tak terlalu berbeda dibandingkan acara memperingati kemerdekaan bangsa tersebut, sama-sama berisi lomba.
Faktanya, saat Pekan Tujuhbelasan maupun Class Meet, yang paling penting bukanlah piala juara atau pun penampilan di lapangan, melainkan tingkah-tingkah kurang kerjaan kami di balik sibuknya lomba—yang berakhir menjadi moment manis.
Di hari Class Meet, akhirnya kami memiliki kaos kelas. Aku telah memakainya dari rumah, mulai dari topi, hoodie merah maroon bertulis X Class besar dengan font latin melingkar di badan, dan celana trainee. Sementara seragam khas yang biasa kami pakai di hari biasa, kuletakkan di dalam tas.
“Lainnya mana?” Aku menghampiri Litan di lapangan.
Sang ketua kelas seperti ingin tampil berbeda, dia mengenakan headband. Keren, sangat cocok untuknya. “Di kelas kayaknya, panggilin coba. Suruh cepetan ke sini!”
Aku mengangguk. Lantas beranjak menuju kelas. Dari lorong, terlihat Ogya yang sudah menggunakan kaos kelas berdiri di ambang pintu. Dia memandang ke arah dalam ruangan sambil sesekali tertawa dengan raut menyebalkan.
Saat tak sengaja menoleh dan mendapati keberadaanku di lorong hendak memasuki kelas, dia mendadak panik dan langsung menutup mataku. "Cowok-cowok itu sih gak tahu malu, ntar mata lu yang ternodai!"
Ogya kemudian melepaskan tangannya dariku. Mendengar tuturan barusan, sudah bisa kutebak, lelaki-lelaki X Class yang lain pasti sedang berganti pakaian di kelas. Dasar, mengapa mereka memilih jalan rumit dengan tidak memakai kaos kelas langsung dari rumah saja?
Sekejap kemudian, Juis muncul dari pintu tanpa mengenakan kaos. “Yang, lihat deh. Perut gue kotak—"
Ogya langsung mendorong wajah Juis, membuatnya kembali ke ruang kelas. "Cepetan pakai baju sana!"
Ada sesuatu yang berubah dari Ogya. Meski aura itu sangat tipis—dan mungkin dia berusaha menyembunyikan, aku bisa merasakannya. Lelaki satu ini, dulu tak pernah peduli pada siapa pun. Namun, tidak dengan sekarang.
Aku bersyukur akan hal itu, tetapi cukup mengejutkan juga melihat seseorang dapat berubah dalam waktu singkat. “Lu beneran, gak keberatan buat jadi pelatih tim futsal kelas kita?"
Ogya mengangguk kecil. "Fisik doang gak bakal cukup. Kalian perlu otak yang jenius."
Aku spontan tersenyum tipis. Arogannya lelaki itu tak berubah. Bukan hanya dari kata-kata, tetapi juga raut menyebalkan yang sangat ingin kupukul ribuan kali hingga dia takut untuk menunjukkan diri di depanku.
Ogya menghela napas kecil, dia sedikit membuang muka. "Gue berterima kasih sama lu … ke Juis juga."
Tatapan Ogya beralih ke sembarang arah, lantas berujar lembut, "Lu punya tujuan yang baik dan Juis punya hati yang murni. Ketika Juis segembira itu—dan perasaannya sama sekali gak dibuat-buat—cuma karena menang lomba pukul kendi dulu, gue menyadari sesuatu …."
Sorot matanya bukan seperti wajah yang bisa ditutup topeng, dia sungguh sedang mengintrospeksi diri sendiri. "Alasan kenapa gue dikarunia otak jenius, mungkin untuk membantu orang lain ….."
Ogya menatapku kembali. Sudut bibirnya mengembang, dengan tulus.
Sontak aku tertegun, mendapati raut semacam itu bisa terpajang di wajah seseorang seperti Ogya. Tentunya, aku dibuat senang pula. Benar-benar tenang terasa. Batin yang tercekik, kini bisa lepas begitu saja dari beban yang menggantung.