“Ada apa, lu bilang?” Litan agak kesal—aku bisa mengetahuinya, meski dia berusaha menyembunyikan itu—tetapi kemudian menghela napas singkat. "Bercanda. Gak ada apa-apa, kok.” Dia tertawa kecil, sambil beranjak duduk tepat di sebelahku. “Sini biar gue gantiin."
Tanpa menunggu respons dariku, Litan langsung mengangkat tubuh mungil Hapi. Memindahkan ke pangkuannya. Mungkin ada beberapa niat di benak pemuda itu—aku tak tahu apa saja, tetapi yang pasti salah satunya adalah dia bermaksud memisahkanku dengan si bocah menggemaskan.
"Kalia gimana, gak kesulitan ‘kan beradaptasi sama suasana baru?” Sang ketua kelas menyambar pertanyaan begitu saja.
Aku menggeleng santai. Senyum kecil mengembang tanpa sadar. Memang sudah biasa melihat Litan perhatian seperti ini, tetapi tetap saja hal itu selalu membuatku senang, bahkan terharu—karena kerelaannya untuk setia berada di sisiku.
Litan ikut tersenyum. “Syukurlah kalo gitu. Beban lu juga berkurang ‘kan sekarang? Gue lihat-lihat lu jadi ceria banget, kayak gak ada masalah sama sekali.”
Tawa kecilku menyerobot.
“Huande gimana?” ucapnya, cukup mendadak—membuatku sedikit tersentak. Pemuda itu menyipit penuh selidik.
Sepasang alisku tertaut ke atas. Nada bicara melirih, “Kalia akrab banget sama Huande dan secara gak langsung dia nyeret gue sehingga interaksi gue sama cowok itu meningkat. Lama kelamaan ya ….”
Aku mengangkat pundak, memasang senyum berjuta arti. “Kami jadi sering bicara satu sama lain dan masalah di antara kami kayak perlahan menghilang gitu.”
Sesuatu melintas di benak, mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di rumah. Seketika membuatku tergelitik. “Tapi itu berkat Mami Papi juga sih. Mau di situasi kayak gimana pun, mereka pasti berusaha deket-deketin gue sama Huande.”
Litan terkejut. Sesaat dia tak berani bicara seolah aku baru saja membahas hal paling sensitif sedunia. Berselang sebentar, dia buka suara dengan pelan, “Mereka tahu apa yang terjadi dulu?”
Aku mengangguk santai—maksudnya, hal itu memang benar, tetapi tak menjadi masalah berarti yang merepotkan, bahkan justru sebaliknya. “Huande punya keluarga yang luar biasa.”
Litan memandangku dengan raut miris yang dibuat-buat. “Gue jadi bingung mau nyebut lu itu sebagai orang yang sial atau beruntung.”
“Sial dan beruntung yang silih berganti, mungkin.” Aku terkekeh.
Tatapan Litan tiba-tiba saja berubah mendalam. Membuat sudut bibirku yang semula terangkat tipis, kini surut sepenuhnya. Santai yang menemani kami menghilang, berganti angin berhembus pelan seakan-akan menuntut pembicaraan serius yang membawa serta sanubari terlembut.
Litan mengambil napas dalam. Mengulum bibir sejenak. “Kay, lu tahu …," fokus tertuju padaku sesaat setelah sempat membuyar tak karuan, "gue ngerasa bersalah.”
Kay mengerutkan alis. “Kenapa?”