X Class 007

Adinda Amalia
Chapter #31

Epilog 02: Class Meet (Part 3)

Jangan melirik yang lain, katanya? Dasar, tak jelas! Mana sudi aku menurutinya!

Juis kemudian langsung berlalu ke belakang. Aku hanya sedikit meliriknya sesaat dan tak memberi respons lebih banyak. Berselang sebentar, pemuda bule itu kembali sambil membawa sebungkus keripik. Lantas duduk di sebelahku. “Ngapain lu berdiri mulu dari tadi? Gak capek apa?”

Menghela napas lirih tanpa banyak komentar, aku asal ikut duduk bersila di tempat yang tak berubah.

Huande tahu-tahu menyusul. Beranjak dari posisi semula, lalu tiduran tak jauh dari kami. "Di sana panas banget."

Raut Juis seketika berubah masam. Dia cemberut, lalu dengan kasar menggeser posisi duduk. Kini kami benar-benar bersebelahan, bahkan dia menyandarkan kepala di pundakku. Memandang Huande dengan arogan, seolah tak mau kalah.

Ini bukan pertama kalinya Juis menempel padaku. Dulu, dia suka sekali mengekor ke mana pun aku pergi. Melemparkan candaan-candaan tak jelas. Pemuda bule itu memang akan pergi bila kuusir, tetapi sedetik kemudian dia akan kembali.

Berbeda dengan peristiwa di perpustakaan hari lalu, kali ini aku tak terpengaruh sama sekali akan tingkah Juis. Perhatianku lebih tertuju pada Huande beberapa meter di depan. Paras pemuda itu hanya terlihat sedikit, tertutup oleh surainya yang cukup panjang untuk ukuran lelaki.

Sesuatu dalam hatiku melembut begitu saja. Melihat pemuda itu tenang, entah mengapa aku ikut merasakan hal serupa. Berada di dekatnya, menimbulkan rasa akrab dan nyaman yang khas—tak pernah kurasakan ketika bersama orang lain.

"Kenapa lu deket-deket?" 

Lamunanku buyar oleh suara sewot Juis. Mendengus, lantas menengok perlahan ke arah pemuda bule itu dengan alis berkerut dan tatapan tajam. "Lu sendiri kenapa deket-deket?" ujarku ketus. Mendorongnya agar menjauh.

Juis mendecak. "Yang, lu lebih suka siapa? Gue apa Haunde?"

Jantungku nyaris melompat. Pertanyaan macam apa itu? Berani-beraninya dia berkata begitu! Terlebih di situasi sekarang. Aku langsung kesal. Ini adalah topik paling sensitif yang sangat ingin kuhindari. "Apaan sih lu?"

Huande dengus. "Pede amat lu.” Dia mengangkat sebagian tubuh. Sedikit menoleh belakang ke Juis dengan tampang santai yang terlukis percaya diri tipis-tipis. “Gue abangnya Kahi. Lu perlu ngelangkahin gue dulu."

"Terus? Lu kira gue gak bisa?" Juis mendadak bangkit—aku curiga dia mengartikan ucapan Huande secara leksikal. Lantas berjalan mendekati pemuda itu dengan langkah mantap yang sengaja dibuat pelan. "Nih, gue bisa—"

Sayangnya, Juis tersandung. 

Dia tersungkur, tetapi masih bisa mengendalikan diri sehingga tidak sampai jatuh ke tanah ataupun melukai Huande. Namun, bungkus keripik di tangannya terguncang bukan main, mengakibatkan isinya berserakan ke atas kepala Huande.

Aku terkejut, spontan berdiri. "Ya ampun, Juis …."

Huande tak berucap apa pun, tetapi dia pasti kesal. Aku bergegas menghampirinya saat pemuda itu mengubah posisi menjadi duduk. Cekatan, kubersihkan keripik dan bumbu-bumbu yang menempel di rambutnya.

Lihat selengkapnya