Aku heran dengan orang-orang berpikir bahwa menjadi perempuan sendiri di X Class akan menyenangkan lantaran selalu menjadi rebutan dan diperhatikan terus oleh cowok-cowok. Nyatanya, aku malah merasa menjadi single parent enam anak.
Mereka bilang, mau sampai kapan pun, lelaki adalah bocah. Aku tahu ini mungkin hanya berlaku untuk sebagian, tetapi kebanyakan seperti itu. Sisi kekanakan mereka tak hilang, hanya sesaat terpendam dan bisa kembali kapan saja.
Apalagi yang masih usia belasan tahun seperti lelaki para penghuni X Class. Bukan sekadar bocah lagi mereka bisa menjadi, melainkan bayi. Cukup masuk akal bila Hapi yang tiba-tiba bersikap manja, tetapi kalau ….
"Yang …."
"Gak usah ngadu, gue bukan emak lu!" Duduk di bangku, aku membalik halaman buku di atas meja seolah tak terjadi apa pun. Mengabaikan lelaki bule yang saat ini menarik-narik sebagian jas bertulis X Class milikku yang terjulur di samping kursi.
Juis merengek kian kencang, "Mami!"
Tak tahan, spontan aku menoleh ke lelaki bule itu. Mengangkat satu tangan terkepal, nyaris menghajarnya habis-habisan. "Gue bukan emak lu!"
Juis mengucek salah satu matanya. Dipikir akan terlihat menggemaskan? Tidak sedikit pun. Dia malah kian menjijikkan di mataku. "Mami, itu—"
Amarahku membludak seketika. "Dibilang, gue bukan emak lu! Dan berhenti narikin jas gue!"
Aku kian tak habis pikir lantaran siswa termuda di X Class, Hapi, justru menjadi yang paling jahil dan kerap membuat lainnya kesal. Kata orang, anak kecil cenderung menirukan perilaku orang dewasa—terutama yang dikaguminya. Kupikir hal ini tak lagi berlaku untuk Hapi, ternyata salah.
Usia mencetak delapan angka dalam permainan boling, Juis melempar salah satu pin ke arah Hapi—seperti yang mereka lakukan dulu. Ditangkap sempurna oleh lelaki menggemaskan itu.
Juis lantas memasang senyum miring penuh gelora. "Ayo! Balas lempar balik kalo berani!"
Aku bergumam singkat dua kali, bermaksud melarang si bocah menggemaskan untuk melakukan itu. "Bahaya, Hapi."
Juis mendecak gusar. "Jangan asal ngelarang gitu dong! Kalo di sini kan ada gue, jadi gak apa-apa. Mau ke mana pun pin itu dilempar, pasti bisa gue tangkap!" Dia malah mulai arogan.
"Hapi ngerti!" Bocah itu mengangkat pin boling di belakang tubuh, lalu dalam sekejap mengayunkannya ke arah Juis sekencang mungkin tanpa ragu.
Yap, akhir-akhir ini Hapi dekat dengan Juis sehingga dia menirukan sikap tak kenal takut dan temperamen buruk lelaki bule tersebut.
"Hapi!" Aku menjadi gusar sendiri.
Pin mendarat di telapak tangan Juis, ditangkap sempurna, tepat di depan wajah lelaki bule itu. Namun, belum selesai. Si bocah menggemaskan berlari menuju tempat pin-pin lain—yang telah berjatuhan usai dihantam bola boling beberapa saat lalu, lantas mengambilnya dan melempar beruntun sekuat tenaga ke arah Juis. "Rasakan! Jurus Hantaman Maut Seribu Kuadrat!"
Aku terkesiap. Kalimat itu terasa familier. Sejak kapan Hapi dekat dengan Raung dan mulai menirukan gaya bercandanya?
"Hapi! Hapi!" Juis memekik panik, kesulitan menangkap semua pin yang dilempar padanya. Alhasil, dia hanya bisa merengkuh seraya melindungi kepala dengan dua tangan. Berkali-kali merintih kesakitan karena pin boling tetap saja mengenai tubuhnya. "Nyerah! Nyerah!"
Hapi rupanya tak mendengar ucapan Juis. Dia mengambil pin boling terdekat, kemudian bersiap melempar kembali. Garis wajahnya ikut berubah seiring banyaknya tenaga yang terkumpul dan siap diledakkan. Alis sampai berkerut, mata mengernyit, dan bibir mungilnya mengerucut.
Satu hal yang berbeda, pandangannya bergeser, tak lagi ke arah Juis. Dia mengambil napas banyak, mengangkat pin tinggi-tinggi ke atas, lantas melempar kencang sambil berteriak, "Jurus Hantaman Satu Tapi Semua Super Maut!"
Bunyi benturan dua benda keras, terdengar cukup keras. Merebut perhatian sekaligus membuatku cukup tersentak karena mencurigai sesuatu. Perlahan pandanganku bergeser menuju bangku di dekat pintu kelas. Raung mengusap kepala seraya menggerutu tak jelas—sepertinya bahasa Latin.
Alisku terangkat malas, senyum masam terukir dengan ogah-ogahan. "Senjata makan tuan …."