X Class 007

Adinda Amalia
Chapter #34

Epilog 03: X Class (Part 2)

Peranku dalam kelas memang beragam, dan nyaris semuanya membuat lelah, baik fisik maupun mental. Terlebih yang satu ini; target suruh-suruhan. Sang pelaku, tentu saja, para lelaki tak tahu diri, Raung dan Huande.

"Raung.“ Aku memanggil pemuda itu dari ambang pintu. “Pak Ramu minta gue bawa beberapa buku dari perpustakaan ke sini. Bantuin!"

Raung langsung bangkit dari tempat duduk, meninggalkan kelas, berlalu menyusuri lorong mendahuluiku "Litan ke mana emang?"

Aku berlari kecil sesaat agar bisa menyusulnya. "Kumpulan ketua kelas. Ada hal penting yang perlu dibahas, dia bakal lama baliknya."

Raung sekadar sedikit mengangkat alis.

Dentuman menggema seisi kelas saat kami meletakkan dua tumpuk buku setebal lima ratusan lembar, masing-masing tiga dan empat buah, di atas meja Litan—kugunakan sementara selagi sang pemilik belum kembali dari urusannya. 

Aku menepuk puncak salah satu tumpukan buku. “Masing-masing buat satu orang, kita harus membaginya.”

Raung mengalihkan pandangan dari buku itu padaku. “Biar gue bagi.” Sesaat kemudian, dia agaknya teringat sesuatu. “Kahiyang, Pak Hakim nyuruh gue menginterogasi siswa bermasalah.”

Aku terkejut. “Apa? Padahal lu bukan anggota Bagian Kesiswaan?”

“Gue ada sedikit pekerjaan setelah diskors dulu. Hukuman itu dianggap belum cukup, gue dipaksa jadi anggota sementara Bagian Kesiswaan.”

Mengernyit, aku memandang pemuda itu penuh selidik. Kurang lebih aku sudah tahu apa yang diperbuatnya hingga diskors di awal tahun pembelajaran baru. Namun, aku masih belum tahu bagaimana tepatnya kasus tersebut. Sepertinya cukup menggemparkan guru-guru hingga dia mendapat banyak hukuman.

“Lu harus bantuin gue. Barusan gue juga udah bantuin lu.”

Aku mengerucutkan bibir, berlagak cerewet, “Iya, iya, gue tahu.” Semula berpaling, lantas kembali padanya saat terpikir sesuatu. “Ngomong-ngomong, menginterogasi siapa emang?”

“Juis.”

Spontan aku menggebrak meja, seraya membuang muka ke sembarang arah. “Cowok itu ….” Tak habis pikir aku dengan pemuda bule tersebut. Sebentar lagi kami sudah hampir genap satu tahun berada di X Class dan dia masih belum juga berubah. “Oke deh, gue harus nanyain apa aja ke dia?”

Aku sama sekali tak masalah apabila Raung memintaku mengerjakan sesuatu yang masih berhubungan dengan akademik, aku menganggap itu sebagai saling bantu atau setidaknya hubungan mutualisme. Namun, Raung adalah Raung.

Di lain hari, aku terpaksa meminta bantuannya lagi lantaran Pak Ramu meminta untuk mengembalikan tumpukan buku Sosiologi lima ratusan halaman itu ke perpustakaan. Sialnya, lagi-lagi bertepatan Litan ada keperluan.

“Sebagai balasan, ganti lu bantuin gue nyoba makanan di kantin,” Raung sudah mencerca sesaat setelah aku melewati ambang pintu perpustakaan, bahkan belum sempat memakai sepatu kembali dengan benar.

Aku memprotes, “Apa?” 

“Ini buat praktek, tahu.”

“Praktek apaan?” Aku mengerutkan alis.

“Analisis hubungan antara cita rasa makanan dan efektivitas penjualan.”

“Lu cuma pengen ngajak gue makan bareng, ‘kan?” Usai memasang sepatu, aku bergegas berdiri tegap kembali, memandang sinis pemuda itu. “Lagian, praktek lu bilang? Kita gak ada tugas kayak gitu.”

“Gue dikasih tugas pribadi.” 

Aku spontan memekik, “Bohong! Di X Class gak ada tugas pribadi!”

Sekali pun sesungguhnya aku tak ingin lagi meminta bantuan pada Raung. Namun, langit sepertinya berkehendak lain. Sebagai wakil ketua kelas lagi, aku mendapatkan tugas di saat Litan sedang ada keperluan. Tentu, selalu saja, sesuatu yang tak bisa dikerjakan sendiri.

Aku sesungguhnya benar-benar enggan, tetapi tak ada pilihan lain. Alhasil, “Raung ….”

Kemudian di jam istirahat, aku memenuhi permintaan pemuda itu untuk bertemu di aula sekolah. “Kok gue? Bukannya lebih baik lu lakukan ini sama orang yang juga menguasai bela diri?”

Lihat selengkapnya