Walau dihantam oleh tingkah-tingkah aneh dan menyebalkan para siswa X Class, aku tak akan meninggalkan tempat ini, meski diminta sekali pun. Itu adalah karena … sebenarnya, semua tak seburuk itu.
“Balas bantuan gue, ikut ke UKS.”
“Wah,” Bidan, seorang wanita muda, yang bekerja di unit kesehatan sekolah kami, menoleh saat aku dan Raung memasuki ruang, “ada yang terluka? Biar Ibu bantu.”
“Gak apa.” Raung mengangguk kecil. Kemudian tersenyum tipis, tetapi cukup manis—aku terkejut dia ternyata bersikap seperti itu kepada yang lebih tua. “Saya bisa sendiri. Di mana kompres dan obat pereda nyeri?”
Aku mengekor pemuda itu menuju salah satu sisi ruang UKS yang ditunjuk oleh Bidan. “Lu cedera gara-gara latihan?”
“Yah ….” Raung mengambil handuk kecil dan beberapa es batu. “Hampir tiap hari gue cedera. Di tempat latihan gue, para sabuk hitam diharuskan latihan dengan bertarung satu sama lain.”
Aku sedikit mengerutkan alis miris, nyeri sendiri membayangkannya.
Mengambil sesuatu dari kotak obat, Raung lantas beralih padaku. “Duduk.”
“Eh?” Aku membuka mata lebar. “Bukannya lu minta tolong buat bantuin ngobatin luka lu?”
Raung sedikit memiringkan kepala, sorot mata kian tajam menyiratkan bahwa aku harus berpikir dua kali selagi dia masih mau mentoleransi. “Emang tadi gue bilang apa?”
Aku menggeser pandangan, tak tahu harus berkata apa.
“Gue minta lu datang ke UKS,” dia meraih tangan kananku, melingkarkan kompres di lengan perlahan—dia sungguh hati-hati dan melakukannya dengan lembut, “karena gue gak bisa mengobati apa pun kalo pasiennya gak di sini.”
Dia melakukan hal serupa pada lengan sebelah kiriku. Kemudian menyodorkan obat pereda nyeri dan segelas air putih. “Hari ini gak usah ikut pelajaran. Di UKS aja seharian, gue temenin.”
Aku terkejut. Seketika hendak menyanggah, tetapi langsung mengurungkan niat begitu Raung sedikit mengernyit. Bila telah berpendirian, pemuda satu ini bisa lebih keras kepala dibandingkan Ogya. Aku menghela napas. Artinya, tak ada pilihan lain.
Masih dengan sorot tajam, sesuatu dalam diri pemuda itu berubah—aku merasakannya walau nyaris tak dapat disadari. Dahulu aku kesulitan mengartikan ini, tetapi sekarang telah jelas; dia menunjukkan sisi lembut. “Maaf soal kemarin.”
"Jangan sekali-kali lu ngomporin Mami buat marahin gue lagi.”
“Kahi.” Huande kembali sesaat setelah meninggalkan kelas. Perawakan lembut yang kukenal itu—sesuatu yang selalu berhasil membuat detak jantungku berpacu lebih kencang—kembali. “Ada waktu bentar?”
Aku menuruti permintaan pemuda itu datang ke taman sekolah. Pepohonan tinggi sepanjang jalan setapak, menghalangi cahaya matahari sehingga hanya memancar sedikit dari celah-celah. Terkesan menyilaukan, tetapi justru menambah elok.
Panas terik menyengat kulit ketika melalui lorong, berangsur dingin. Tanpa sadar, sesak sedikit memenuhi dada, memaksa menghembuskan napas berat ketika selimir angin mengayunkan pelan surai panjang yang hari ini kubiarkan jatuh bebas lantaran tak diikat sedikit pun.
Tempat ini membekas sentakan tersendiri dalam benak. Dua kali terakhir aku datang kemari, tak ada urusan selain memeras sanubari sehingga menumpahkan berbagai emosi yang melelahkan.
Sekarang pun, aku sudah bisa merasakan perubahan aura Huande. Jelas kami tak akan melakukan hal bodoh seperti suit dengan palu mainan dan helm.
“Gue mempersiapkan sesuatu, tapi kalo lu gak berkenan gak apa-apa.” Huande berhenti dan berbalik usai memasuki taman sekolah cukup jauh. Dia mengeluarkan kotak kecil dari saku jas hitam X Class yang elegan.
Benar dugaanku. Bahkan belum semenit berada di sini, sekujur tubuh sudah dibuat mendidih seketika. “Jangan-jangan itu cincin tunangan lu dulu?” Kuakui, kekesalan memang masih membekas. Tatapanku berubah tajam dengan seringai tipis. “Bercanda lu?”