X Class 007

Adinda Amalia
Chapter #36

Epilog 03: X Class (Part 4)

“Semua siswa kelas dua belas akan mengurus pemotretan untuk Buku Tahunan Sekolah. Agar mudah dalam mengawasi, pihak sekolah akan membagi jadwal sesuai kelas.” Pak Ramu menoleh ke salah dua siswa di ruangan. “Karena di X Class ada siswa kelas dua belas, kalian bertujuh diizinkan ikut berfoto.”

Akan ada empat jenis foto yang diambil untuk keperluan Buku Tahunan Sekolah; angkatan, kelas, kelompok, dan pribadi. Foto angkatan telah diambil di hari pertama pekan pengurusan BTS. Sementara sisanya, kami dijadwalkan hari ini.

“Ayo, cepetan! Juis!” Litan mengkoordinasi giliran foto pribadi. Kami mengambilnya di ruang kelas—lebih tepatnya bangku masing-masing, dalam rangka memamerkan fasilitas mewah di sini, terutama papan nama dan seragam jas hitam X Class yang elegan.

Selesai dengan foto pribadi, kami pergi ke studio untuk mengambil foto kelas. Selagi diberi kebebasan dalam hal tema, aku dan lainnya sudah berdiskusi untuk menentukan yang terbaik.

“Apa-apaan ini? Bukannya foto pake latar balkon istana udah cukup?” Suara Ogya sayup-sayup terdengar dari luar.

Aku pergi ke ruang rias sesaat untuk memperbaiki gaya rambut. Foto kelas yang kami ambil barusan cukup melelahkan. Bila hendak mengambil potret lagi, aku harus kembali menata penampilan agar maksimal. 

“Gak usah protes, kemarin semua udah setuju, ya.” Litan terdengar tegas seperti biasa.

“Kenapa sih? Lagian tema ini bagus banget.” Juis agaknya sangat percaya diri. “Gue emang cocok jadi putra mahkota.”

“Tapi putra mahkotanya kan Raung.” Lagak polos Hapi pasti membuat Juis malu setengah mati saat ini—sebentar, memangnya pemuda bule itu punya rasa malu? 

Dasar, apa yang mereka ributkan? Sudah begitu, bila dipikir lagi, beruntung sekali ya mereka. Para lelaki tidak terlalu memikirkan tentang penampilan. Berfoto bukan urusan penting, berbeda dengan perempuan.

“Tadi bukannya udah?” Pertanyaan yang diutarakan dengan tenang oleh Huande sepertinya mewakili apa yang ada dipikiran kami berlima—yap, aku juga sesungguhnya. “Kenapa harus foto lagi?”

“Selagi masih ada siswa waktu,” hanya dari nada bicaranya, kurasa Juis tersenyum lebar, “ayo foto yang banyak mumpung pake baju bagus.”

“Oke, oke, udah!” Litan memainkan perannya sebagai ketua kelas kembali. “Habis ini kita harus buru-buru foto kelompok!” Dia lantas menyeru, “Kay, lu udah? Buruan, yuk!”

Menghela napas, aku tersenyum pada diri sendiri di depan kaca, lantas meninggalkan ruang rias. “Ayo!”

Kami mengenakan kostum ala-ala bangsawan. Sang raja, Litan, mengenakan celana hitam, kemeja putih dengan sentuhan biru dan emas, jubah warna senada dengan tali merah menjuntai menghubungkan tiap pundak, sebuah tongkat, dan tentu saja mahkota.

Pakaian putra mahkota, Raung, didominasi merah maroon, jas dengan hiasan renda di beberapa sisi, termasuk rompi. Kemeja putih, serta scarf mengembang dengan warna senada yang terkesan mewah. Lengkap dengan celana hitam dan tentu sebuah mahkota—lebih sederhana daripada milik raja.

Sang pangeran, Hapi, sekadar memakai celana hitam; atasan panjang sedikit bercorak warna serupa ditambah sentuhan biru, merah, dan putih, dengan ikat pinggang lebar bercorak emas di atasnya. Sempurna dengan mahkota tak jauh berbeda dari milik putra mahkota.

Ketiga adipati—Juis, Huande, dan Ogya—mengenakan celana putih, kemeja berwarna serupa yang dilapis rompi biru berbahan tebal dengan hiasan keemasan di bagian bawah lengan, dada, pundak, dan kerah. Tanpa mahkota.

Terakhir, aku sang ratu, mengenakan gaun putih bercorak emas dan biru. Kerah renda berwarna emas. Lengan panjang dengan sisi bawah melebar. Bagian atas hingga garis pinggang pas di tubuh, nyaris penuh hiasan dan sedikit renda. Rok tiga lapis yang melebar mewah. Tak lupa sebuah tiara.

Beberapa helai rambut agar mengganggu lantaran menusuk-nusuk leher, aku menggunakan punggung tangan untuk mengibaskannya. “Selanjutnya, kita mau foto di mana?”

“Di …,” Litan memandangku dengan tatapan kosong sejenak, lantas menengok belakang ke salah satu ruang studio, “di sini!”

“Yang!” Juis mendadak berteriak—agak mengagetkan. Bergegas kemari, lantas asal menekuk lutut di hadapanku. “Gue sesaat gak sadar kalo itu elu! Maaf banget!”

Aku menghela napas. “Padahal dari tadi gue pakai kostum ini. Kalian juga udah pangling sebelumnya, kenapa sekarang kayak gini lagi?”

Lihat selengkapnya