“Kalia.” Aku membawa setoples kue kering, memberikannya pada gadis kecil yang sibuk bermain dengan teman-teman atau lebih tepatnya saudara—karena di sini kami menganggap satu sama lain seperti itu. “Bagi ke yang lain juga.”
Kalia menerima toples dengan gembira, sambil mengangguk. Dia membuka tutupnya, lantas menyodorkan ke anak-anak lain. “Kalian boleh duluan. Pasti enak!”
Aku tersenyum tipis, Kalia benar-benar gadis yang baik. Memikirkan orang lain sebelum dirinya sendiri. Baru beberapa hari kami tinggal di Panti Asuhan Adiwangsa, dia sudah akrab dengan saudara-saudara sebaya maupun yang jauh lebih muda atau tua.
“Kahiyang, gimana di sini? Betah?” Pak Farid menghampiri kami. Meski berbicara padaku, tetapi beliau justru sambil mengajak Kalia bermain dengan boneka kucing kecil.
Aku tersenyum lebar. Mengangguk tanpa ragu. “Banyak temannya. Adik-adik yang lain juga sangat bersemangat, mereka bikin saya jadi ikut ceria!”
Pak Farid ikut tersenyum. “Mereka pasti antusias karena ada kakak yang mau ngajakin main lagi. Dulu ‘kan ada Sadi, tapi semenjak dia ikut Excellent dan sementara gak tinggal di panti, anak-anak jadi agak kesepian.”
Aku tak terlalu terkejut. Nama Sadina Asyeramila sudah sangat akrab di telinga siswa SMA Jagadhita, mengingat posisinya sebagai salah satu siswa Excellent. Dia berada di kelas sebelas, sangat cerdas, bahkan pernah mengikuti pertukaran pelajar ke Australia.
“Oh, ya. Kahiyang, ada keluarga yang bersedia mengadopsi kamu dan Kalia. Tapi jangan memaksakan diri buat ikut mereka. Kalo kamu emang sekiranya gak cocok, bilang aja ke Bapak. Nanti saya yang urus.” Beliau akhirnya beralih menatapku. “Pokok sesuai kata hati kamu aja, Kahiyang.”
“Emm ….” Aku mengulum bibir, bimbang. Tinggal di Panti Asuhan Adiwangsa sudah sangat cukup bagiku. Namun, memiliki keluarga baru mungkin akan lebih menguntungkan bagi pertumbuhan Kalia. Meski begitu, kami tak bisa asal ikut orang lain. “Boleh saya ketemu sama mereka dulu, mungkin ngobrol atau apa ….”
“Oh, tentu boleh.” Pak Farid tak terlihat keberatan sama sekali, justru sebaliknya. “Mereka nungguin kamu di depan.”
Beranjak dari tempat semula, aku menemui orang yang dimaksud bersama Kalia dan Pak Farid. Bercampur gugup, aku tak tahu harus berbuat begitu mendapati sepasang suami-istri usia tiga puluhan yang tampak gelisah di ruang tamu.
Sesaat setelah memandangku, senyuman mereka langsung merekah dan seketika tampak lega. “Nak, Kahiyang ….” Si wanita mendekat. Dengan lembut menyentuh surai, mendekapkan tangan di pipi, dan terakhir memegang kedua lengan atasku. “Kalia ….” Wanita itu kemudian mengusap juga pipi adik kecilku.
Aku senang mengetahui mereka menyambut kami dengan baik. Akan tetapi, apakah sepasang suami-istri ini mengenal kami? Mereka menyebut namaku dan Kalia, ‘kan? Namun, bagaimana bisa?
Apa aku yang lupa? Namun, mau berapa kali memandang wajah kedua orang ini, mereka tetap salah terlihat asing.
Sejurus kemudian, aku tersentak saat mendadak menyadari bahwa suami-istri ini mengingatkanku pada seseorang. Sayangnya, aku tak tahu siapa itu. Hanya saja, ada sedikit kesan memancar dari mereka yang terasa cukup familiar.
Terlepas dari itu, wanita ini sepertinya ramah. “Kami sudah siapkan kamar di rumah buat kalian berdua. Ada ruang belajar buat Kahiyang, ada juga tempat luas kalo Kalia mau bermain.”
Senyum tipis mengembang, menyenangkan mendengar hal itu. Bukan tentang kediaman mewah dan berbagai fasilitasnya, melainkan ketulusan yang sungguh terasa. Aku mungkin tak akan keberatan untuk menerima tawaran adopsi dari mereka.
“Kalia mau apa?” Sang suami ikut menghampiri kami. “Boneka mau? Papi pengen banget beliin boneka yang banyak buat Kalia!”
Gadis kecil itu langsung melonjak girang. Mengangguk-angguk semangat. Kemudian menyebutkan berbagai boneka hewan yang dia inginkan. Terlebih, Kalia tampak nyaman berada di dekatnya.
Keputusanku bulat, tak ada salahnya menerima tawaran adopsi mereka.
Namun, isi kepala tak bisa berhenti. Aku terus saja memikirkan seseorang yang mendadak muncul di benak ketika memandang sepasang suami-istri ini lekat-lekat. Rasanya sungguh akrab, tetapi siapa, ya?
“Kakak juga pasti bakal sayang banget sama Kalia.” Sang suami tersebut menepuk pelan puncak kepala gadis itu.
Gadis itu menyambar tanpa ragu, “Kak Kahi sayang banget sama Kalia!”
Sang istri tersenyum lembut. “Bukan cuma Kak Kahiyang, Kalia juga bakal punya satu kakak lagi yang gak kalah sayang sama kamu.”
Aku tersentak. “Kakak?”
“Papi, Mami. Maaf, Abang agak telat.”
Langkah kaki tergesa-gesa, terdengar dari arah pintu. Membuat kami berempat menoleh. Seketika, bola mataku melebar hingga ingin copot saja. Aku nyaris melompat ke ujung semesta, terkejut bukan main.
Akhirnya aku sadar, wajah suami-istri ini mengingatkanku kepada ….
Aku beralih menatap mereka. Memasang paras sok ramah. “Maaf, boleh Kahiyang ngobrol sebentar sama putra tertua kalian?”
“Gak usah sungkan-sungkan.” Sang istri itu melambai kecil—persis ibu-ibu arisan yang eksis. “Dia sekarang kakakmu, panggil aja Abang.”
Aku memaksa senyuman dan sebuah tawa kecil. “Iya, Abang ….”
Begitu mendapatkan izin untuk berbicara empat mata, aku langsung menarik tangan pemuda itu. Membawanya keluar dari gedung panti asuhan, menuju taman kecil di halaman depan.
Seketika, seluruh amarah yang terakumulasi sejak sekian menit lalu, kubiarkan meluap tiada ampun. “Huande! Ngapain lu di sini?”
Pemuda itu mengangkat dua tangan di depan dada seolah memintaku mundur atau tidak mendekat, mungkin kewalahan karena tampangku pasti persis seperti banteng hendak mengamuk.
Huande mengangkat alis. Membela diri perlahan, “Lu inget ‘kan, gue dulu bilang kalo mau membatalkan pertunangan karena elu.”