Aba-aba permainan akan dimulai, telah diserukan. Tim lawan telah berkumpul di lapangan, bersiap di posisi masing-masing. Sementara pemain X Class masih membentuk formasi melingkar selagi Litan memberi arahan sekali lagi.
"Oke, teman-teman?" Litan memandang mereka bergantian. Usai mendapatkan anggukan mantap, dia memandangku dan Hapi di pinggir lapangan. "Semua kumpul! Kay, Hapi!"
Kami berdua bergabung ke lingkaran. Tanpa aba-aba tambahan, tujuh tangan secara otomatis tersusun bertumpuk. "X Class!" Kami menurunkan tangan, lantas mengangkatnya tinggi-tinggi bersamaan. "Solid!"
"Semangat, teman—"
"Kahiyang," Raung menyela. Selagi Hapi telah kembali ke pinggir lapangan dan empat pemain voli kelas kami beranjak menuju posisi masing-masing, pemuda ini malah sibuk menahanku. Sorot matanya berangsur tajam drastis—membuatku sesaat bergidik ngeri. "Jangan sebut nama siapa pun, kecuali gue."
Pemuda itu langsung pergi, mengisi satu-satunya posisi di lapangan voli yang masih kosong. Sekian detik aku mematung, mengunci pandangan pada Raung. Lantas mendengus dan tertawa kecil, berbalik sebelum beranjak menyusul Hapi.
Berdiri di pinggir lapangan, aku masih tak percaya dengan apa yang harus kulakukan saat ini. Menghela napas seraya menggeleng, akhirnya menuruti pemuda itu dengan mengangkat bertuliskan nama seorang pemuda. "Ra-ung Bhu-mi-di-pa-ti!"
Sungguh, ini memalukan ….
Ucapan Raung beberapa waktu lalu masih berputar-putar di kepala. Di balik paras dan perawakan yang selalu serius—bahkan gemar sekali mengintimidasi orang lain, tertanya kata-kata seperti itu bisa keluar dari mulutnya.
Entah mengapa, tingkah Raung yang satu ini terkesan lucu di mataku. Maksudku, begini … benar-benar tidak biasa dan di luar dugaan melihatnya mendadak bersikap seperti itu. Entah apa yang sebenarnya dia inginkan.
"Raung!" pekikan Litan menggema seluas lapangan.
Tanpa perlu mengeluarkan seruan sejenis, sang pemuda yang dimaksud tanggap bertindak. Berlari menyusul bola yang melayang ke pinggir lapangan. Mengatupkan jari-jari kedua tangan sedemikian rupa—bersiap, lantas secepat kilat mengayun tangan hingga bola memantul kembali ke wilayah lawan.
Melihat kelincahan Raung bukan hal mengejutkan lagi—dia sudah menunjukkan penampilan serupa di Lomba Sepak Takraw dalam Pekan Tujuhbelasan lalu. Seharusnya kali ini tak ada yang membuatku terkesima. Namun, ternyata salah.
Sorot mata Raung memang selalu tajam, tetapi belum pernah sefokus ini. Seakan-akan satu titik tujuan telah jelas di depannya, dengan begitu dia tak perlu memalingkan perhatian. Iris penuh tekad kuat itu melewati sang raja rimba yang sedang mengintai mangsa.
Sedikit pun, tiada keraguan maupun ketakutan yang memancar dari mata itu.
Tanpa sadar, tatapanku telah terkunci pada Raung entah sejak kapan. Meski ada seribu orang memanggil namaku, rasanya enggan untuk menoleh—mengalihkan atensi dari pemuda itu.
Aku tersentak saat pandangan kami mendadak bertemu—pemuda itu tentu saja tetap datar seperti biasa seolah tak terjadi apa pun. Teriakan keluar begitu saja, "Semangat, Raung!"