Ya, Suatu Saat Nanti

Asya Ns
Chapter #3

Pencapaian

"Gak gitu, Bro. Ga seharusnya kamu kasar sama cewek. Apalagi sampe bentak-bentak dia kaya gitu." Husain merangkul bahu Kevin dan menjelaskan.

"Bro, lihat dia, Bro. Dia cewek, Bro, cewek!"

Din terenyuh dengan perkataan seorang Husain. Pria yang baru kemarin menjadi pengasuh kelas MPLS-nya. Ternyata, sebegitu mulia perangainya.

"Kamu tahu sendiri, kan? Kalau cewek tuh cengeng?" Husain merendahkan nadanya, menasehati perlahan, agar tak tampak begitu serius.

Din mendesis pelan. Sebenarnya pria yang di depannya ini bagaimana? Sudah membela, ikut menghardik juga rupanya.

"Dengerin ya-"

Husain membisik ke arah kuping Kevin.

"Kalau malaikat sampe tahu kamu buat sakit hati dia, gak akan aman hidupmu, Bro," bisik Husain lembut tapi sangat menancap di hati Kevin.

"Mending sekarang, sampeyan pergi aja, deh, dari sini." Husain nyengir. Menaikkan alisnya dengan muka yang sama sekali mengejek.

"Huh! Ya, awas aja kalian! " Kevin meninggalkan makian, mengancam. Lantas, pergi. 

"Gak papa?" tanya Husain pada Din yang mengubah lokasi berdirinya; miring dari posisi penglihatan Husain.

Din mengisak ingusnya perlahan. Segera mengusap air matanya. Akan sangat memalukan jika ada yang melihatnya menangis. Selama ini, teman-teman Din tidak pernah ada yang melihatnya marah atau menangis.

"Udah, Ih. Gak usah nangis. Kakak salut, loh, sama kamu. Udah berani dakwah, menentang kakak kelas pula, hehe..."

Din tertegun. Bagaimana Kakak kelasnya itu bisa masih tahu kalau dia menangis? Dia harus menyangkalnya.

"Hehe, aku gak nangis kok, Kak. Ana juga masih awam, kok, Kak, buktinya...." Din berkata gugup, cepat tidak jelas.

"Aku ke kelas duluan, daa...." Husain tidak hirau lama perkataan Din. Dia harus segera ke kelas. Bel masuk sebentar lagi pasti akan berbunyi. 

"Huh. Ada-ada aja." Husain berdecak pelan. Menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Waja'alna sirojaw wahhajaaaa, Waangjalna...."

Ia terus membaca muraja'ah Al-Quran-nya sembari berjalan menuju kelas. 

"Kak, Sein!" Husain menoleh.

"Heera?"

"Kak, Sein, nanti pulang sekolah ke kantin dulu yah. Ada yang mau aku omongin." Hati Husain tidak berhenti bertalu mendengar ucapan lembut gadis yang memanggilnya barusan.

Ingin dia menjawab tidak atau iya. Tetapi, bagaimana? Husain hanya takut ketahuan, bahwa mungkin pipinya telah merah merona sekarang.

"Ya, Kak Sein, Yah? Aku tunggu." Ia tersenyum manis. Gadis dengan penampilan sederhana itu, berasal dari perpustakaan. Ia sengaja menghentikan langkah Husain hanya untuk mengutarakan hal itu.

Husain hanya mengangguk perlahan, dan berusaha menampakkan senyum terbaiknya. Bagi Husain, Tuhan begitu baik, memberi gadis semanis dan sebaik Heera padanya.

Jika kalian mengira sosok pandai ilmu agama seperti Husain itu sempurna. Kalian jelas salah, karena yang barusan memanggilnya tadi, Ia adalah berstatus sebagai pacar Husain.

"Sepertinya... hari ini mungkin jam kosong," pikir Husain. Ia sedang duduk di kelas, membuka kembali sebuah Al-Qur'an kecil di tangannya. Lantas, membaca kembali beberapa ayat yang tadi terlupa.

Sebenarnya, Husain sangat malas untuk berpacaran. Tetapi, begitulah. Katanya, usia remaja, inginnya selalu coba-coba. 

(Adegan tidak untuk ditiru!) 

"Apa, sih, Ya Allah! Itu layar HP kenapa harus ada tulisan merah ganggu gitu, sih!" Keluh salah seorang siswa di antara banyaknya kerumunan.

"Astaghfirullah! Eh, kalian. Wahai... temen-temen ku yang arif dan budiman. Bisa nggak? Usah teriak-teriak? Aku lagi mau konsen. Huhh!" Husain menegur teman-temannya dengan nada sedikit membentak dan meledek. 

"Lagian kenapa, sih, Sein.... Ngehafalin kaya gitu di sini, udah tau kelas kita– " Tak melanjutkan bicaranya tapi saling tatap.

"Hahaha.... Haha...." Tawa temen kelas serentak yang sedang menonton film bersama.

Husain sebenarnya pun tak ingin menghafalkan ayat- ayat Al-Qur'an ini. Tetapi Abuya? Ya, Ayah Husain menyuruhnya. Jika, Ia tak mau melakukannya. Bisa-bisa ke-empat kakaknya akan menyerangnya nanti.

"Oh... Ya Robb.... Oke, aku pergi! Sekolah emang di Madrasah Aliyah Negeri. Tapi, ngga bentuk Aliah ini mah. Huh!" kata Husain di dalam hati, beranjak keluar kelas. 

"Sekarang aku kemana? " Husain menyapu sekelilingnya yang sepi. Karena, memang masih jam belajar mengajar. Jadi, mereka semua harus tetap berada di kelas, atau mungkin Pak Bandi—salah seorang guru favorit anak-anak bandel. Akan datang membawa buku pe-sholatan.

Sebenernya mudah, pak Bandi tidak pernah benar-benar marah pada anak nakal. Mereka hanya disuruh praktek sholat. Tentunya, yang memalukan adalah bacaannya harus benar dan di depan kelas. Sendirian.

Itu lebih dari cukup, untuk membuat nyali para anak-anak bandel surut.

"Ouhh... ke perpustakaan aja. Sip! Kau memang pintar Sein ... Hahaha," ucap Husain memuji dirinya sendiri, kemudian berlari menuju perpustakaan. 

               ✧༺♡༻✧

Pelajaran hari itu telah usai. Seperti hari biasanya, Din harus menunggu kakaknya datang menjemput dahulu sebelum pulang.

Wajar saja, untuk rumah Din saja harus mengontrak, apalagi motor? Motor butut Supra X itulah yang Ibu Din usahakan untuk beli. Demi sekolah SMA Din sementara. Walaupun harus antar jemput, bergantian dengan ponakan Din yang juga sekolah TK.

Ada banyak yang memberikan tawaran tumpangan untuk Din sekedar pulang. Namun, tidak serta-merta Din dapat menerima semua itu begitu saja.

Din berjalan, menyusuri arah keluar gerbang.

"DOR!!" Seorang pria mengagetkan Din.

"Astaghfirullah!" Din mengelus dadanya.

"Pasti jalan sendirian. Iya, kan?"

"Bisa biasa aja engga?! Sudah jelas aku sendirian. Kan Dia sama yang lain. Whahaha," ucap Din asal.

Pria itu berdecak. "Bucin terus..."

Din terus berjalan, pria itu memelankan laju motor matic-nya, menyambangi langkah Din.

"Yok, bareng. Naik. Aku antar sampe rumah."

"Gak usah, Deh. Sendal jepit! Please deh. Aku kan udah pernah bilang..."

"Heh, India! Ga usah sok-sok an, deh! Udah ayok. Rumahmu loh masih jauh," paksanya.

Din menyatukan alisnya saat dipanggil India. Dia tidak menyukainya. Walaupun, ungkapan itu banyak benarnya. Din memang menyukai negara dari perfilman Bollywood itu.

Din berhenti.

"Ya Allah, Zayn. Aku kan udah pernah bilang, Aku enggak boleh boncengan sama cowok!" Din bersungut-sungut.

"Ya kenapa?"

"Udah dibilangin gak boleh! Ih, kata Ustadz-ku dulu pas di Lampung. Di peraturan ngajinya begitu."

"Ya, kan di Lampung. Sekarang kan kamu di Madura."

"Tetep aja. G-A MA-U! Titik!"

"Ayolah...." mohonnya.

Pria bernama Zayn, berambut agak ikal, dan bertubuh tinggi itu adalah teman sekelas Din. Dia adalah manusia paling jail yang Din kenal. Tidak dapat berhenti menganggu dan mengejeki Din setiap waktu.

Din tidak mengacuhkannya. Ia terus saja berjalan.

"India! Heh!" 

"Ya udah. Kalau kamu ga mau naik, aku yang ikutan jalan aja." Zayn turun dari motornya. Ia menuntunnya di samping Din.

"Heh Sendal jepit. Ngapain? Kamu kenapa, sih. Perhatian banget sama aku?" Din tersenyum-senyum. Ia menautkan alisnya dan meledeki Zayn. Hingga yang diledek mulai tersipu malu.

"Heh! India ga usah ge-er, yah! Siapa juga yang perhatian. Uuu!!" Zayn mencebilkan bibirnya. Matanya melihat salah seorang temannya melintas.

"WOY! BERHENTI!" teriak Zayn.

Din menatap Zayn heran. Mau ngapain lagi anak ini, batinnya.

Zayn menyandarkan motornya. Lantas, langsung saja mengambil posisi duduk pada motor teman yang barusan ia panggil.

Lihat selengkapnya