✧✧
Husain mematikan komputernya. Ia mendengar bel istirahat telah berbunyi.
Tetapi, tiba-tiba pergerakannya terhenti. Ia kembali menghenyakkan tubuh pada badan kursi. Ia telah merupakan sesuatu. Sesuatu yang padahal sudah sepanjang malam Ia pikirkan.
"Bagaimana aku bisa merupakan hal itu?" Husain mengernyitkan dahinya.
Kemarin.
Di rumah Husain semua orang sibuk mempersiapkan penyambutan bagi teman Ayahnya.
Para santri siaga apabila tiba-tiba dipanggil dan dimintai tolong oleh Kyai Amin, Ayah Husain.
"Asror, tolong minta persiapkan sajiannya sekarang, beliau akan segera sampai," titah Kyai Amin.
Salah satu santrinya yang bernama Asror itu hanya diam menunduk. Ia tidak menjawab. Kemudian mengangguk sesaat; memberi kode mengiyakan.
Bersamaan dengan itu, sebuah mobil mewah berwarna putih berhenti di halaman pondok—rumah Husain.
Tampak beberapa remaja pria, mengenakan pakaian serba putih, sarung serta peci hitam. Mereka keluar lebih dulu untuk membukakan pintu mobil.
Pintu mobil terbuka. Dari balik pintu keluar seorang lelaki sepuh berkalungkan sorban. Wibawanya nyaman untuk dipandang, dan wajahnya yang sejuk, layaknya memancarkan cahaya ketaatan.
"Ahlan wa sahlan ya sohibi... Kaifa haluk?¹⁰" sambut Kyai Amin.
"Ahlan biik, ya Amin, antum tetap terlihat jamil¹¹," goda temannya, Kyai Sa'ad.
"Mari masuk Sa'ad... akan aku tunjukkan jalan." Kyai Amin mengalungkan tangan pada bahu temannya itu.
Mereka berjalan bersama. Diselingi dengan bincang tawa santai, beberapa santri remaja tadi masih mengawal di belakang.
"Ayo duduklah," atur Kyai Amin.
"Ya Amin, banyak sekali makanan yang kau hidangkan hanya untuk aku?"
"Tidak Sa'ad, ini loh untuk santri-santrimu, dan seluruh pengawalmu juga, haha..." Kyai Amin merekahkan senyum.
"Hahahaha..." Kyai Sa'ad ikut tertawa.
"Engga, Amin. Sebenarnya, aku sudah bilang, cukup diantar supir saja, tidak perlu berlebihan. Tetapi, ya begitulah. Mereka ingin ikut, jadi ku biarkan. Tiadakah selain seperti ini, untuk melihat cara mereka mengalap barokah dari gurunya," tambahnya.
"Kau benar Sa'ad." Kyai Amin masih tersenyum.
Perbincangannya sekejap terhenti saat melihat Husain melintas dari kamarnya.
"Ya Husain! Kemari," panggil Kyai Amin.
Tanpa menjawab, Husain cepat memberi salam dan mencium tangan dengan takzim kepada Kyai sa'ad. Lantas, bergegas duduk di bawah mereka —yang duduk di atas kursi.
"Ini putra bungsu ana," kata Kyai Amin, memperkenalkan. Senyumnya kembali mengembang tipis.
"Husain?" tanya Kyai Sa'ad.
"Balaa¹²... Ya Habib," atur Husain menundukkan kepalanya.
"Ya Amin, antum tidak pernah gagal mendidik putra-putra antum," puji Kyai Sa'ad.
"Haha. Alhamdulillah, Hadza min fadli Rabbi¹³."
Kyai Sa'ad mengangguk bangga.
"Kemana putramu yang lain?–" Kyai Sa'ad menatap sekitar, "–apakah ketiganya sudah lulus?"
"Alhamdulillah, sudah, ketiganya sudah lulus. Abdullah baru saja lulus dari Malaysia, dan Alhamdulilah ketiga putra saya sudah hafal Al-Quran semua, hehe, dari Abdullah, Hisyam, dan Abud, semuanya sudah hafal Al-Quran," jelas Kyai Amin.
"Masya Allah, Ya Amin. Masya Allah... Tabarakallah."
Husain menyeringai. Api memanasi kepalanya.
"Abuya... Ana juga kan putra antum, lho, kok nama ana ga ada?" batin Husain. Mimik wajahnya tampak sedih. Meski jiwanya masih duduk hidmat mendengarkan.
Ayahnya terus ber-tahaddus bini'mah¹⁴, dengan semua putranya. Mereka dibanggakan, kecuali, Husain. Namanya tidak tersebutkan satu kalipun.
"Hmm... Abuya, gitu. Oke, Husain bakal buktikan. Husain bakal buktikan bahwa Husain juga bisa kok buat bangga Buya!" tekad Husain di dalam hati.
✧✧
"Aku tahu. Bahwa seorang Husain itu nakal–" Husain melamun di antara ratusan santri yang ribut membaca Ayat Al-Quran sebelum sholat Maghrib dimulai.
"Bahkan aku pacaran. Aku sadar, aku salah. Tetapi, aku juga bisa kok, seperti kakak-kakakku yang lain. Justru lebih baik, malah, seharusnya."
Lamunan Husain buyar oleh suara iqamah dan bangkitnya semua orang.
Husain melepas lamunannya. Di dalam hatinya telah tersirat bahwa Ia harus menjadi seorang Hafiz Qur'an, dan Ia harus bisa melebihi rasa bangga Ayahnya terhadap ke-3 kakaknya.
Sebab, dari keluarga Husain sendiri. Ia yang menjadi anak bungsu dari semua saudaranya yang juga lelaki.
Hari itu mungkin telah berlalu. Namun, rasa sakit hati Husain belum juga sembuh. Hingga detik ini. Di sekolah, Husain masih sering berkutat dengan ingatannya, tentang hal itu.
Itulah alasannya. Alasan mengapa beberapa hari terakhir Husain bekerja keras untuk muraja'ah. Walaupun, itu di jalan atau di kelas yang berisik.
"Tau Husain, engga?" Somad hilir-mudik, menanyai beberapa siswa. Mencari temannya itu.
"Dia, kan, tadi keluar pas pelajaran, sih," sahut teman kelasnya.
"Oh, Iya. Pasti ke ruangan OSIS!" Somad mempercepat langkahnya. Berhenti di depan ruangan itu.
"HUSAIN! Mau dhuha time atau kantin engga?!" teriaknya.
Teriakan Somad mengacaukan bayangan Husain. Mungkin, Husain akan memikirkan hal itu nanti lagi. Untuk berpikir hal seperti itu, tidak bisa Ia lakukan secara terburu-buru.
"Allah! SOMAD!" sentak Husain kaget.
"Iya, tungguin!" Husain menutup pintu ruangan itu. Menerima ajakan Somad.
Mereka berjalan menuju masjid.