Ya, Suatu Saat Nanti

Asya Ns
Chapter #5

Kau tertawa dan Aku terluka

✧✧

Sore itu; setelah pulang sekolah. Husain baru bisa kembali untuk menemui Heera.

Padahal, gadis itu telah memintanya sedari kemarin. Ketika dirinya baru pulang dari perpustakaan.

Rasa malu Husain saat menjalin kata 'berpacaran', terkadang menjadi penghambat. Tetapi, Heera adalah wanita baik, dan kelembutan hati Heera yang telah membuat sosok Husain jatuh hati— sejak masih sekolah menengah. Keduanya menjalin hubungan itu sampai hari ini.

"Maaf, aku baru bisa datang sekarang." Husain menarik maju sebuah kursi panjang. 

Seorang gadis bermata hitam pekat, telah duduk berlawanan arah dengannya. Heera berusaha membenarkan letak jilbabnya yang miring. Bulu matanya lurus panjang dan kulit kuning langsat yang menawan, menambah kemanisan senyumannya.

"Kemarin, kenapa lari?" ucapnya lembut, mengalihkan posisi duduknya.

"Ha? E-engga. Siapa yang lari, itu tu, e... cuma karena..."

Pikiran Husain kembali menjelajahi hari kemarin. Saat mereka telah sepakat bertemu di kantin. Husain datang. Berusaha memberanikan diri.

Sebelum beberapa lama kemudian Husain sampai. Ia melihat Heera duduk di sana.

"Pacarku itu nampak jelita, ya... dari sisi mana saja. Nggak salah, kalau aku sampai jatuh hati padanya." batin Husain pada awalnya.

Ketika itu. Heera dan temannya menyadari akan kehadiran Husain. Melihatnya berjalan.

Husain memasang senyum manis.

 "Hehe...."

"Udah, cepetan kesini, Kak sein. Kita udah nungguin dari tadi loh. Udah laper banget ini..." ucap teman Heera—Nadin, dengan nada malas.

Heera berusaha menghentikan teriakan Nadin. Ia berharap tidak usah lagi berteriak seperti itu di keramaian kantin. Memalukan. Apalagi, para gadis-gadis kelas menatapnya dengan sangat intens.

Mendengar ucapan teman Heera. Husain tersadar, dan menjadi sangat malu.

Entah dari mana asal rasa malunya itu. Tiba-tiba saja itu menggerogoti sekujur jiwanya, hingga tiada satupun lagi keberanian yang tersisa.

Sekehendaknya, Husain kemudian berbalik badan. Berlari kencang, kembali menuju ke kelas.

"Huh." Husain berusaha mengatur napasnya.

 "Untung aja, bisa berhasil kembali ke kelas," kata Husain dengan nada masih tersendat-sendat.

"Untung saja tadi itu, aku bisa lari." Menyeka ujung dahinya yang mengalir keringat.

"Bodoh sekali kau, Sein! Berani beraninya mau nemuin bidadari. Hem... di geplak malaikat baru, tahu rasa!" batin Husain memaki dirinya sendiri.

Menggagalkan ucapan "iya" tadi. Husain merasa telah mengingkarinya. Bukan segera pegi ketemuan. Eh, ia sekarang malah kembali ke kelas.  

"Ah, lupakan!" Husain menangkis pikirannya jauh-jauh. Adegan yang sangat memalukan seperti itu sangat tidak penting untuk diingat.

 "...ada apa? Tumben," lanjutnya.

Heera menundukkan pandangan. Menyunggingkan bibirnya.

Temannya yang bernama Nadin itu, masih duduk di samping Heera. Ia tengah menikmati cilok pesanannya.

Husain menahan senyum. Sesekali menggigiti bibirnya, menatap wajah manis Heera yang semakin sempurna dengan lesung pipinya.

"Dua gelas es teh, Bik." Heera memberikan permintaan kepada bibi pemilik kantin.

"Dua, Mba?"

"Aku engga?" Nadin menyahut.

"Habisin dulu itu." Heera menyeringai pada dua gelas minuman yang masih ada di hadapan Nadin.

"Hehe..." Nadi nyengir.

Heera kembali bertanya, "Nanti sibuk, engga?" ucapnya begitu ramah.

"Aku?" Husain tertegun sejenak.

"Oh! Aku mah gak pernah ga sibuk kalau di rumah. Tapi, gak papa, kok, gak papa. Nanti? Eum... Aku bisa," jawab Husain secepat mungkin. Ia sengaja banyak bicara. Karena, ya begitu adanya. Ketika Ia mulai berbicara, otaknya dengan cepat mengajukan banyak kata yang membuat nada bicaranya terkesan kilat bagi yang mendengarkan.

"Tapi.... Kalau kamu gak bisa, gapapa, kok." Heera menyeruput es tehnya.

"Eh! Bisa kok. Bisa, ada apa memangnya?"

"Nanti sore... Eumm... Sepedahan. Gimana?" tawar Heera, masih diikuti lekungan manis di bawah hidungnya.

"Ke?"

"Alun-alun kota. Seperti biasa."

"Hmm.. tapi, Ra. Kalau berdua..."

"Jangan khawatir. Aku tahu. Kita ga berduaan, kok. Ya, Nadin?" Pandangannya beralih.

"Hah?" Nadin yang dipandang termangu. Menghentikan laju kunyahannya.

"Goes? Lah.... Tapi, aku–"

"Tenang, dua mangkok bubur ayam. GRATIS!" sergah Heera.

"Ouh! Gass!" Nadin kembali menekuni piring cilok.

"Nah, aku sama Nadin."

"Baiklah. Aku juga akan mengajak Somad."

Heera kembali tersenyum. "Terima kasih."

Lihat selengkapnya