Seperti pagi-pagi pada biasanya Din harus bersiap untuk berangkat ke sekolah. Ia harus lebih dahulu membereskan pekerjaan rumah, lantas menunggu kakaknya selesai berdandan dan menunggu diantarkan.
"Kamu yang bonceng, ya," pinta Lisya—kakak Din.
"Kok aku, Mba?" tawar Din.
"Udah tho, nanti juga, kan, pulangnya Mba yang bonceng."
"Hm."
Din malas berdebat. Ia terpaksa harus menurut. Ia paham betul bagaimana sang kakak selalu memintanya untuk membonceng ketika mereka pergi bersama. Ditambah lagi keponakan Din pasti menangis, meminta untuk ikut.
"Alah! Pastilah Mba tuh, kaya gitu, suruh aku boncengin, karena pengennya masih dilihat dia yang gadis, dia yang cantik. Nah, aku yang boncengin udah kaya yang punya anak," gerutu Din dalam hati.
Beberapa mobil truk membawa batang pohon jagung. Di atas truk itu duduk beberapa orang pria, mengenakan pakaian lusuh, dan menatap ke arah laju motor Din.
Swiwit!
Mereka bersiul, beberapa diantara mereka mengeluarkan godaan-godaan untuk menggoda Lisya.
Din melihat wajah kakaknya itu melalui kaca spion. Dirinya terlihat seperti tersenyum-senyum bangga.
"Halah!" Din memutar bola matanya. Jangankan digoda cowok seperti itu, didekati saja, ingin rasanya Din tendang wajah mereka semua; supaya terlempar dari sana.
Din sengaja menambah kecepatan motornya, mendahului mobil itu. Bahkan, beberapa jalan berlubang Din terjang. Hingga membuat Lisya mengaduh kesakitan.
"Gobl*k! Seng bener bisa gak, toh, naik motornya!" maki Lisya kesal, meski aslinya Ia tidak marah.
"Yo, maaf loh, Mba. Biar cepet sampai. Dari pada nanti telat, kan, ya..." jawab Din cengengesan.
Motor Din melaju 80 kilometer per jam. Namun, lagi-lagi ia berpapasan dengan truk-truk puso yang berderet-deret—berjalan lamban.
Din sudah sangat tidak sabar untuk sampai. Padahal, jarak antara sekolah dan ia sekarang sudah sangat dekat.
"Ayolah..." batin Din. Berharap bisa mendahului.
Jalanan pagi, saat masa sekolah memang kerapkali lebih ramai dari pada hari-hari biasanya.
Sebuah motor menyambangi laju motor Din. Terdapat dua orang pria tua; berpenampilan biasa saja. Yang dibonceng membawa tumpukan telur, seperti mereka hendak pergi untuk menjualkannya.
Kedua orang itu kembali menggoda kakaknya, Lisya.
"Mau kemana, Mba?" tanya salah satu diantara mereka.
Lisya masih terdiam.
"Mba, boleh minta nomor HP-nya?"
"Aku tuh sudah punya anak loh, Mas," ungkap Lisya.
"Alah, bohong deng, orang masih cantik kayak gitu masak udah punya anak?" timpal pengendara yang menyetir.
"Apa sampean tidak tahu? Itu yang di depan anakku."
"Owalah. Kirain anaknya Mba ini. Hehe..." Mereka mendahului Din sambil tertawa-tawa mengejek.
Lisya menahan tawa.
Din hendak bersungut-sungut menghaturkan sumpah serapah. Ah, namun baginya meladeni pria-pria tidak berguna seperti mereka itu, lebih tidak ada gunanya.
"Sebenarnya mata mereka tuh, apa buta, toh, gak bisa lihat apa? Orang dibilang aku sudah punya anak juga," kata Lisya.
Din hanya berpikir, "Siapa juga yang akan menduga, namanya ibu-ibu di mana-mana ya pasti penampilannya lebih tua, lebih dewasa, dan mereka akan mendahulukan kepentingan anak mereka dibandingkan dirinya sendiri. Lah, Mba Lisya? Udah maunya dibonceng aku. Mana ponakanku gak boleh ditaruh tengah. Harus di depan! Biar semua orang tahu... Ah tau lah! Boncengin kakak udah kayak boncengin biduan aja."
Din memasuki sekolah tanpa senyum hari itu. Ia membelah lapangan tengah, berjalan sendirian, menuju ke kelas dengan percaya diri.
Jika orang lain, pastilah mereka merasa malu—berjalan sendirian melewati ruangan-ruangan kakak kelas. Terlebih, paling depan adalah ruangan kelas XI IPA 1. Kelas ternama dengan siswa most wanted di dalamnya.
Din tidak sempat memikirkan semua itu. Ia masih sangat geram atas ucapan pria tua di motor tadi.