Ya, Suatu Saat Nanti

Asya Ns
Chapter #8

'Cocok' maksudnya bagaimana?

"Kak Husain? Ini beneran, kan?" Din masih belum beranjak dari tempatnya. Dirinya masih menolak untuk percaya.

"Ayo! Bawa toplesnya," ucap Husain berjalan lebih dulu.

Din berusaha menyadarkan dirinya. Bagaimana dia bisa lupa bahwa yang menyuruhnya barusan adalah wakil ketua OSIS. Pantas saja, dia berada di sana.

"Bodoh!" Din menepuk jidatnya keras. Hingga jarak Husain dan dirinya semakin menjauh. Ia segera mengejar langkah Husain. Melesat menuju kelas XI IPS.

Din hanya berani membuntuti. Jantungnya seakan sedang menikmati sebuah gendang, yang ditabuh teramat keras di dalamnya. Jiwanya seakan berpesta, meski raganya masih susah juga digerakkan.

Dugh!

Husain menengok ke belakang. Din segera membenarkan posisi berdirinya. Ia baru saja menyandung pinggiran selokan. Untung saja, dirinya sigap untuk tidak jatuh.

Bisa-bisanya Husain merasa biasa saja. Ia tidak ada perasaan aneh sejak pandangan pertama, seperti Din dulu.

Wakil ketua OSIS itu menyikapi Din sama saja seperti wanita lainnya—para fans. Tidak ada yang spesial.

Ia tidak banyak bertanya. Setelah melihat Din yang kondisinya baik-baik saja. Ia lantas kembali melanjutkan langkahnya. 

Husain berhenti di depan pintu. Pada sebuah kelas yang teramat hening. Sepertinya, di dalam kelas itu sudah ada seorang guru yang mulai mengajar.

Din yang biasanya dikenal sebagai seorang gadis yang terkenal pecicilan. Seketika, sekarang dirinya sok anggun, kaku seperti robot berjalan.

"Kamu yang ngomong, ya?" tawar Husain tiba-tiba, melihat Din di belakangnya.

Din tidak berani menjawab. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ah, ya sudah. Aku saja kalau gitu. Berarti, kamu yang ke belakang ngambilin uangnya, ya," haturnya lagi.

Kali ini Din menganggukkan kepalanya; masih kaku.

Husain mengambil langkah masuk.

"Assalamualaikum..." ucapnya sembari membuka pintu.

Seorang Guru seketika terdiam dari penjelasannya. Ia menoleh bersamaan dengan semua pandangan murid yang dijelaskan.

Husain mengembangkan senyuman. Kemudian, mendekati Guru itu, mencium tangannya dengan menundukkan badan. Lalu, berkata lirih, menyampaikan maksud dan tujuannya mengganggu.

Din masih berdiri di ambang pintu. Ia ingin masuk, namun rasa malu masih mengaduk-aduk pikirannya.

Guru itu mengangguk, memberi tanda mengizinkan. Husain juga menatap ke arah Din. Memberikan kode yang sama agar Din segera masuk.

Din sangat gugup. Ia berusaha tersenyum manis pada puluhan pasang mata yang mengamatinya berjalan. Ia juga ikut mencium tangan Guru tersebut, tersenyum sejenak, lantas berdiri di samping Husain.

Din dan Husain berdiri sejajar. Gadis-gadis kelas itu tampak sangat bergelora membuntang menatap Husain yang hendak bicara.

"Sebelumnya, saya awali, Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh." Husain mengawali salamnya dengan lantang.

Lihat selengkapnya