✧༺♡༻✧
Siang itu gerimis mulai membungkus sekolahan. Musim hujan telah datang. Sepertinya, para guru akan malas untuk menyebrangi lapangan yang terbentang, barisan ruangan kelas, atau mungkin mendekap buku-buku tebal pelajaran untuk membawanya ke kelas.
Banyak murid berprasangka hari itu akan kembali menjadi surga bagi mereka. Jam kosong! Iya, itulah surga dalam padatnya jadwal pelajaran. Apalagi, kelas IPA, 85% tugas mereka adalah menghitung dan menghitung.
"Aah... semoga jam kosong!" Din memutar letak duduknya. Menghadap Fatma yang berada tepat di belakang kursinya. Dila hanya beralih menyamping, ikut berhadapan.
Din mulai berceloteh tentang banyak hal, hari itu. Fatma dan Dila tetap selalu antusias mendengarkannya.
Cerita yang Din bawakan selalu saja berakhiran tawa. Nada bicaranya yang terkadang medok khas Jawa, ditambah gelora mukanya yang luar biasa semangat. Semua itu membuat siapapun yang berhadapan dengan Din tidak tahan untuk tidak terkekeh.
"Hahaha... Haha...."
"Ih, gabut¹⁶ banget gak, sih?" tutur Din memecahkan tawa. Ia mulai tidak bisa diam.
"Heh! Mau kemana kamu, Din?" tanya Dila yang mengamati langkah Din berjalan ke arah pojok baca—sudut kelas.
Kursi di paling sudut kelas. Depan pojok baca. Kursi jomblo tanpa teman itu adalah milik Zayn.
Entah apa alasannya memilih duduk di sana. Yang jelas, akan berbahaya jika langkah Din sekarang menghampiri Zayn.
Din pura-pura tidak mengetahui bahwa Zayn mengamatinya. Ia berdiri di belakang Zayn untuk mengambil sebuah buku dari pojok baca itu.
Mulut Zayn mulai gatal. Ia sungguh tidak bisa menahan dirinya, untuk tidak menggoda gadis berbulu mata tebal nan lentik itu.
"Heh, India!" seru Zayn tiba-tiba.
Otomatis Din akan menoleh. Walaupun dia tahu betul, panggilan itu bukanlah namanya.
"Bisa engga?! Ga usah manggil itu?!" dengus Din.
"Gak bisa, kenapa?" Zayn sengaja memancing emosi Din.
"Ya... Orang sendal jepit, mana bisa manggil bener." Din mendesis. Kembali fokus mencari buku yang belum ditemukannya.
"Sembarangan! Cowok bersih, cermat dan bersahaja seperti saya dibilang sendal jepit." Zayn menyisir rambutnya dengan tangan. Berlagak sok keren.
Din tertawa terbahak-bahak. Tangannya menutupi mulutnya yang menganga lebar, tidak bisa lagi menahan tingkah konyol Zayn.
"Kok malah ketawa? Kamu, loh, masih punya utang sama saya." Zayn mengingatkan, memberengut.
Din yang diingatkan mengerutkan dahinya. Hutang? Hutang apa yang Zayn bicarakan? Semakin ngawur saja tingkah anak satu ini, pikir Din.
"Gak usah heran, deh, gak usah sok lupa, kemarin kamu main, masih kalah." Zayn menunjukkan sebuah halaman tengah buku.
Itu gambaran Din. Din baru mengingatnya. Kemarin lusa, kan, Din menantang Zayn untuk bermain permainan itu. Tetapi saat itu....
"Heh, enak aja! Kamu yang kalah kok!" ucap Din memberang.
"Sebenarnya kita gak ada yang kalah, sih, orang mainnya aja belum selesai. Hahaha..." Zayn tertawa lagi, umpannya kembali tepat sasaran—membuat Din marah.
"Oh iya, Aku lupa! Aish, ngapa, sih, Sendal Jepit ini masih inget aja. Aku, kan, malas banget. Masak iya, aku harus nurutin permintaan dia kalau nanti aku sampe kalah," batin Din.
Sebenarnya kronologi perhutangan tidak jelas itu hanya sepele. Awalnya, hanya karena keusilan Din. Ia mengusir rasa ketidak bergunaanya dengan menggambar sebuah garis-garis yang terhubung pada lembar tengah buku milik Zayn. Garis-garis itu membentuk semacam kotak catur yang di desa Din sering disebut sebagai 'Dam-Daman'.