Din berusaha melupakan kejadian tadi. Walaupun otaknya berkali-kali memintanya berpikir. Untuk apa Zayn melakukan itu? Mengapa? Tetapi, sikap Zayn masih seperti biasa saja. Dia melakukan itu tanpa merasa salah, nafsu, atau dosa. Atau mungkin ia sedang tidak sengaja? Atau malah berpura-pura tidak lagi mengingatnya?
"Dasar! Zayn. Stress!" Din memakinya dalam hati.
Derap langkah terdengar hendak memasuki kelas. Seorang pria paruh baya, mengenakan celana bahan kedodoran, dengan baju dimasukan ke celana.
Kehadirannya seketika membuyarkan pikiran Din, dan semua kehebohan anak kelas. Mungkin guru itu adalah salah satu cara yang dikirim Tuhan untuk mengalihkan perhatian Din saat itu.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," ucap lelaki bersurai yang sudah sedikit beruban itu.
Zayn yang baru pulang dari kantin, segera menunduk-nunduk masuk ke dalam kelas. Ia mencari jalan aman, sebelum akan ditanyai banyak hal. Telatnya belum sampai lima menit, jadi masih aman.
"Sekarang pelajaran fisika, tah?" Din menoleh kepada Dila setelah ikut menjawab salam serentak.
"Gimana, sih, jangan bilang tugasmu belum," ujar Dila.
Din menyengir.
Pak Mustofa dan Fisika itu adalah pelajaran kutukan bagi Din.
Dila menyerahkan bukunya. Ia mengerti, Din pasti membutuhkannya untuk menyalin. Bukan bagaimana, masalahnya, Dila juga akan membutuhkan Din nanti ketika pelajaran agama. Jadi, itulah salah satu keputusan mereka untuk menjadi simbiosis mutualisme.
"Oh, ini, tho? Kalau ini mah, aku udah." Din mengembalikan buku Dila.
"Hari ini kita akan belajar tentang gas ideal," kata Pak Mustofa, Ia meletakkan bukunya, memulai absensi dan penjelasan.
"Ada yang tahu apa itu gas ideal?" tanyanya memulai pelajaran.
Kelas seketika senyap. Bahkan setelah pertanyaan sekalipun. Kefokusan mereka seperti belum sepenuhnya berkumpul.
"Ya sudah, tidak usah gas ideal lah kalau gak tau. Ideal saja sudah, ada yang tahu, apa itu ideal?" tanya Pak Mustofa lagi, dengan nada khasnya.
Pak Mustofa memandang seluruh kelas berharap akan ada yang menjawab pertanyaannya. Namun, kelas masih juga lengang.
Sepertinya anak-anak yang diajarkan ini, perlu penjelasan yang lebih detail, pikir Pak Mustofa.
"Apa sih, ideal itu? Kalian pasti sering denger kata itu kan? Calon istri yang ideal. Seseorang yang ideal, coba. Apa sih, ideal itu?" Pak Mustofa mencoba membangkitkan jiwa menjawab muridnya.
Satu dua anak menyergah dengan lirih, mereka takut jawaban yang mereka haturkan salah, kemudian menjadi bahan tertawaan.
"Baik?..."
"Apa ya? Sempurna?" gumam siswa di depan Zayn.
Zayn yang mendengarnya langsung saja mengutarakan.
"Sempurna, Pak. Ideal, sempurna." Zayn menjawab mantap.
"Eum... Sempurna? Yak, boleh juga. Berarti jika dimaknai begitu.... Ada tidak sesuatu yang ideal di dunia ini?" Pak Mustofa mengembalikan jawaban Zayn.
Zayn yang ditanya, segera membuka-buka buku LKS-nya; sedari tadi masih tertutup rapi.
Zayn memutar otaknya, ia harus segera menjawab.
"Eh, itu pak, anu... Apa... itu, ya... eum.... Intinya itu, Pak. Sebenarnya aku tuh tahu loh, Pak. Hanya saja terlintas tapi susah di ungkapkan," pungkas Zayn asal.
Pak Mustofa menggeleng, menahan tawa atas tingkah Zayn, lantas menyela, "Tinggal jawab saja. Coba, ada tidak manusia yang ideal? Jika seperti yang dikatakan Zayn tadi. Berarti, ada tidak manusia yang sempurna di dunia ini?" Pak Mustofa berjalan maju, tangannya menyangga pada meja Din, yang berlokasi paling depan.
Keheningan lagi-lagi kembali tercipta.