Din mengucapkan salam, membuka pintu rumahnya.
"Wa'alaikumsalam. Sekolah kok sampe maghrib, Din?" ucap Ibu Din menginterogasi.
"Iya, tadi aku juga nungguin si Din lama benget, tak kira mungkin dia Ekskul dulu," seloroh Lisya yang menjawab pertanyaan sang Ibu.
Din memilih untuk diam, banyak bicara saat dirumah itu tidak akan membawakan hasil. Malah yang ada, akan tercipta perdebatan panjang nanti. Lebih baik, ia segera mandi sekarang, lantas mengganti pakaiannya.
Tak berselang lama, sejak kedatangan Din, adzan maghrib benar berkumandang. Full day school terjadwal biasanya pulang jam tiga sore. Jika ada ekstrakurikuler tambahan, mungkin Din akan pulang setelah sholat ashar. Tidak seperti hari ini ia baru pulang menjelang waktu maghrib tiba. Jelas, hal itulah yang membuat Ibunya khawatir.
"Zayn, si temanmu itu, loh, sudah pulang dari tadi, Din." Ibunya kembali menghaturkan tanya, belum puas, ingin menginvestigasi Putrinya itu.
"Iya, Bu." Din melipat mukenanya. Ia baru selesai sholat Maghrib.
Din tiga bersaudara, adik Din—Rumy menjabat tangan Din. Sedari tadi Din-lah yang mengomelinya untuk segera sholat Maghrib.
"Iya. Maksudnya gimana, tho, Din? Kamu itu pulang sore dari mana?!" sergah Ibu Din lagi.
"Em.. tadi, tho, Bu? E... Din itu hanya–"
Belum selesai Din menjelaskan kepada sang Ibu. Telepon ibunya berdering.
Tutt! Tuut!
Dengan sigap ibunya langsung menyambarnya.
Din menyeringai, mengamati ibunya yang berbicara melalui telepon.
"Oh, iya.... Kapan?" Ibu Din menjawab panggilan itu dengan ramah. Handphone itu pun dari tadi juga berdenting notifikasi pesan masuk.
Mengapa Din tiba-tiba berprasangka yang tidak baik.
"Ah, tidak mungkin." Din berusaha menangkis pikiran buruknya.
Ibu Din pergi. Ia lebih memilih menelfon di tempat yang sepi—pada ruangan dapur belakang. Mungkin, supaya tidak terganggu riuhnya suara Din. Sebab, seperti biasa, setelah sholat maghrib, ia akan mulai mengajari adiknya—Rumy untuk mengenal agama Allah—agama Islam.
Din lantas menyuruh Rumy untuk segera mengambil buku Iqra'-nya. Din sudah bersila, siap untuk menyimaknya.
Rumy tampak lesu. Sama sekali berbeda dari waktu biasanya, ketika disuruh mengaji.
"Kenapa?" tanya Din.
"Cepet ambil Iqro'-nya," titah Din.
Rumy menggeleng sebentar, lantas bangkit dengan mimik wajah cemberut.
Din mengabaikan bagaimana mood adiknya hari itu. Din pikir, mungkin Rumy hanya sedang malas saja. Jadi, bagi Din. Jika, tidak dipaksa, maka, ya, tidak akan terbiasa, menuruti rasa malas itu? Membiarkannya menjalar ke seluruh tubuh? Ah, itu tidak akan menghasilkan apa-apa. Din harus memaksa adiknya itu.
Rumy mulai membaca satu persatu huruf Hijaiyah yang tertulis di buku pada hadapannya.
Tetapi, malam itu pun terasa aneh bagi Din. Mengapa hampir semua huruf yang Rumy baca itu salah.
"Faa.. Luu..."
"Bukan, Fa, Rumy... Itu, Qo... Jadi, bacaannya Qooluu... yang bener, tho, Ah," gusar Din.
"Taa... Lu..."
"Qo!"
"Qo... Ta... Lu..."
"Rumy! Yang bener!"
Bukannya kembali membenahi bacaannya, Rumy justru menangis.