Kitni Dafaa... Subah Ko Meri—
(Begitu seringnya pagi hariku..)
–Tere Aangan Mein Baithe Maine Shaam Kiya
(Kulewatkan sambil duduk di halaman rumahmu hingga sore tiba.)
Channa Mereya Mereya, Channa Mereya Mereya
(Oh rembulanku, oh rembulanku)
Channa Mereya Mereya Beliya
(Oh rembulanku tersayang)
⇄ ◃◃ ▶▹▹ ↻
"Woy, India!" Zayn berteriak dari gerbang masuk masuk sekolah, mengacaukan Din yang sedang bernyanyi lagu Channa Mereya itu. Din tidak sengaja mendengarkannya dulu, dan itu masih menjadi lagu favoritnya hingga hari ini.
Ia menoleh sebentar, lantas melanjutkan jalannya tanpa berhenti.
Zayn berlari, dengan cepat menyambangi langkah Din menuju kelas.
"Pelit banget, dipanggil aja gak mau jawab apa berhenti," ucap Zayn.
"Mager. Masih pagi, ada hal penting tah?" jawab Din.
"Gak papa, sih. Eum... Eh, kamu nyadar gak sih? Bentar lagi kita udah naik kelas 11 loh, sekitar bulan besok kan udah MID semester."
"Eh, iya, ya. Kok aku ga nyadar ya..."
"Makanya itu, eum... Lulus SMA ini kamu mau kemana?" tanya Zayn ringan.
"Belum tahu. Naik kelas sebelas aja belum."
"Tapi, Din. Rencana kita sekarang itu juga mempengaruhi masa depan, tau." Zayn berusaha menasehati.
Mereka telah melewati parkiran guru, sekarang menuju ke lapangan tengah. Langkah gontai mereka memperbanyak dialog antara keduanya.
"Iya, sih. Sendirinya?"
"Ya itu yang mau aku omongin. Aku bakalan pindah ke Malang, ke tempat kerja ayahku. Mungkin aku bakal kuliah di sana, bareng sama adik-adikku."
"Oh, orang tuamu di Malang?"
"Hm..."
"Jadi gimana? Udah kamu pikirin belum, mau ngelanjutin kuliah apa engga?"
"Ngelanjutin, dong."
"Wih, beneran? Kamu udah mikirin itu?" Zayn sempat tidak menyangka.
"Belum. Cuma karena kamu aja tadi, 'rencana mempengaruhi' katamu."
"Ih, kamu mah, ya iya, sih, terus kalau lulus kamu mau kemana? Udah tau?"
"AHA! UDAH LAH!" Din bersungut-sungut, sombong dalam bercanda.
"Kemana?" Langkah Zayn terhenti sejenak, Din ikut menatap wajah Zayn yang sepertinya sangat ingin tahu.
"Ke rumahlah... Masak habis lulus ga pulang dulu." Din terkekeh-kekeh.
Zayn mendengus, jawaban Din tidak sesuai dengan yang ia harapkan.
"Untung sayang!" desis Zayn geram, di sebelah Din.
"APA?!" Din meyakinkan pendengarannya barusan.
"ENGGA! Itu loh, udah sampe kelas. Masuklah, masak iya mau ke rumah buat sekolah dulu."
Zayn mendahului langkah Din, Dia mendorong kepala Din asal. Hingga Din mengangguk ke depan.
"Heh, SENDAL JEPIT!" teriak Din mengamati punggung Zayn.
"LECHA~LECHA!! NEHI-NEHI!" ejek Zayn, menggoyang-goyangkan kepalanya, menuju bangkunya.
Di dalam kelas itu, sudah ada beberapa anak yang menekuni bukunya. Sepertinya, mereka sedang lupa mengerjakan tugas. Din seketika merasa santai saja. Meski dia bukan tergolong siswi yang pintar. Tetapi, aslinya Din memiliki otak yang cerdas. Jadi, itu jugalah yang menjadi salah satu kelemahannya dalam memahami angka. Bukannya menghitung, malah sibuk menjadikannya khayalan cerita.
"PR-mu sudah?" tanya Dila menghentikan tangannya yang sedang menulis.
"Apa?" Din menaikkan alisnya, menjawab dengan santai.
"Oiya, lupa. Aku tanya pada orang yang salah." Dila mendesis, kembali menulis.
"PR apa, sih, Fat?" Din menoleh ke belakang, mencari kepastian.
"Pendidikan agama, Din. Suruh nulis ayat-ayat materi yang tentang 'Iman Kepada Kitab Allah' kamu udah semua? Udah dihafalkan juga?" Fatma menjawab pertanyaan Din tanpa berubah sedikitpun raut mukanya.
Din membulatkan mulutnya, "Sudah, dong," jawabnya seperti sedang menggunakan kacamata hitam, tersenyum elegan.
Fatma memutar bola matanya. Ia kembali ikut menulis.
Selain pendidikan agama, jangan tanya Din soal PR. Dia juga pasti jarang mengerjakannya. Din hanya berpikir, jika guru-guru itu sering berkata,