Husain mengambil ponselnya. Ia mengetik sebuah pesan.
"Besok, aku pengen ketemuan sama kamu, Ra. Aku harap kamu bisa." Husain menekan tombol kirim pada sebuah kontak bernama Heera itu.
Malam itu berlalu dengan kegundahan yang belum usai. Husain harus bersiap untuk datangnya hari esok.
✧༺♡༻✧
Ayam telah berkokok, seruan sembahyang telah ramai bersahut-sahutan layaknya perlombaan. Tak berselang lama, masjid di halaman rumah Husain juga andil. Husain malam itu memutuskan untuk tidur di ruangan takmir masjid. Kamar kecil itu terletak tepat di depan imaman. Suara Adzan otomatis merasuk dalam telinganya, membuat ia langsung beranjak bangun.
Itulah salah satu sebab yang Husain sukai ketika tidur di sana. Agar sholat shubuhnya tidak tertinggal, meski pun tidurnya terlampau larut malam.
Setelah menunaikan ibadah. Husain menyapu halaman, lantas bersiap ke sekolah.
Wajah gembiranya seketika serasa padam.
✧༺♡༻✧
Sedangkan Din yang bangun pagi. Hari itu harus sudah mendengarkan teriakan ibunya.
"Din! Cepetan bantuin ibu beres-beres rumah. Gadis kok lelet banget, sih, kalau nanti ada orang dateng gimana?"
"Fabiayyi aala irobbikuma tukadziban²³..." Din yang sedang membaca Al-Qur'an terjeda.
"Njeh⁸, Bu. Sebentar lagi," seru Din. Sebenarnya kata-kata itu tidak pantas untuk menjadi balasan perintah seorang ibu. Namun bagaimana? Ibu Din selalu mengutamakan pekerjaan dan pekerjaan. Tidak peduli Din sedang apa.
Jika Din tidak menyelesaikan bacaannya pagi itu, bagi Din harinya akan berawal sia-sia. Meski bukan Hafidzah. Din selalu mengusahakan untuk membuka harinya dengan Al-rahman dan menutupnya dengan Al-waqiah dan Al-mulk.
Ia bangkit. Segera membereskan kamar, dilanjut menyapu rumah, dan mencuci piring. Jika hari itu masih teramat pagi, Ia juga pasti harus mengepel. Berhubung Din terlalu lama mendekam di kamar untuk membaca surah Ar-Rahman. Jadi, ia tertinggal sedikit, dan hari sudah beranjak siang sekarang.
Din lekas bersiap. Ibunya tidak memprotes, yang terpenting Din sudah melakukan pekerjaan rumahnya. Ibu Din hanya takut ia akan menjadi gadis yang manja dan tidak bisa apa-apa nanti di rumah suaminya.
"Din berangkat sekolah dulu ya, Bu." Din mencium tangan ibunya, membenarkan letak tasnya.
"Ayo, Mba! Buruan!" teriak Din.
Lisya yang sedang memoles bibirnya, cepat-cepat menghampiri Din. Ia melempar sebuah kunci motor pada Din. Tentu saja—untuk menyetir.
"Assalamualaikum...," teriak Din.
✧✧
Sekarang Ia telah sampai di sekolah. Tanpa sengaja Din berpapasan dengan langkah Husain yang menuju ke taman baca.
Ia berhenti, takut bertaut mata dengan kakak kelasnya yang satu ini.
Din berpikir, "Mau kemana Kak Husain pergi ke taman baca sepagi ini? Sepagi itu, jelas sekolah masih dalam keadaan sepi, perpustakaan pun pasti masih belum dibuka."
Husain terus berjalan menuju taman baca.
Sebuah taman yang terletak di pinggir lapangan tengah, di depan koperasi dan perpustakaan. Kursinya menjulur panjang, sering digunakan para siswa-siswi untuk mengobrolkan sesuatu.
Din menyeringai pada taman baca itu. Ia melihat ada seorang wanita yang menghadap; membelakangi lapangan.
"Siapa wanita itu? Sepertinya... Kak Husain hendak menghampiri dia?" selidik Din, mengamati Husain yang berjalan gontai.
Seorang wanita sebayanya datang, menghampiri wanita yang tengah duduk di taman itu. Badannya lumayan berisi, dan di tangannya penuh kudapan makanan ringan.
"Dia belum datang?" tanyanya.
"Belum, mungkin masih di perjalanan, tumben sekali dia yang meminta kita bertemu, sepagi ini juga."
Wanita yang bertanya melihat ada seorang pria berjalan mendekat.
"Itu, Husain," pekiknya bersemangat.
"Hm? .... Biarkan saja, perasaanku gak baik hari ini. Udah, Nadin... mendingan kamu duduk aja di samping aku, sekarang."
Nadin menurut. Mereka menunggu kedatangan Husain.
Kursi di taman baca itu cukup nyaman. Selain bentuknya yang panjang, di sana juga terdapat atap peneduh. Sehingga tidak akan kepanasan atau kehujanan saat membaca di sana. Letaknya yang dekat dengan perpustakaan serta koperasi; juga menyediakan banyak jajan dan alat sekolah.
Pada bagian atas tempat duduk, dibuat sebuah pembatas yang digunakan sebagai papan informasi. Jadi, pada kedua tempat duduk yang bersebrangan, mereka tidak dapat melihat full apa saja yang dilakukan teman di belakangnya.
"Untuk apa Kak sein memintaku datang kemari ya? Aku baru membuka pesannya tadi pagi. Sedangkan dia mengirimkan pesan itu dini hari, sekitar jam tiga pagi. Jelas ini urusan yang sangat penting. Sepenting itukah sampai selarut itu dia belum tidur? Atau mungkin dia terbangun sholat tahajjud? Eum... Ada banyak kemungkinan, sih, memang. Yang tidak memungkinkan itu adalah, Kak Husain tidak pernah berani mengajaku ketemuan, apalagi di dalam keramaian sekolah, apa dia tidak takut para gadis-gadis yang menyukainya akan bertindak fanatik padaku?" Heera berpikir banyak hal, alis matanya bertaut khawatir, tangannya yang kedinginan terus ia gosok-gosokkan.
Suara derap langkah terdengar samar pada rungu Heera.
Husain duduk berlawanan arah dengan Heera, dia menatap hijau ke lapangan terbuka.
Din segera mempercepat langkahnya. Ia akan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Lebih baik dia akan mengawasi mereka dari depan kelas saja. Kelas Din yang berada di bagian depan lapangan akan memudahkannya untuk mencari tahu dalam jalur yang lebih aman.
Din sekarang pindah tempat, ia memicingkan matanya dari depan kelas. Dila dan Fatma datang. Kebetulan hari ini mereka berangkat bersama. Ayah Fatma sedang libur melatih karate. Jadi, motornya dapat ia bawa, sekalian juga menjemput Dila di rumahnya.
"Bwa!!" Dila mengagetkan Din.
"Din! Ngapain, sih?! Masih pagi juga, udah... ngapain, sih, kamu!" seru Dila mendorong punggung Din untuk mengagetkan.
Yang dikagetkan sama sekali tidak merespon.