Ya, Suatu Saat Nanti

Asya Ns
Chapter #17

Zayn Freak!

Sudah hampir setengah minggu, Ibu Din berperangai berbeda. 

Ia sekarang tidak memperdulikan kebersihan rumah, tidak bertanya tugas Rumy, juga tidak memprotes Lisya yang terus bermain ponsel


"Sebenarnya ibu sibuk apa, sih, dengan HP-nya? Kok aku jadi kepo³ yah, tapi gak sopan juga, kan, tiba-tiba buka HP ibu, walaupun gak di pola." Din berkata-kata sendiri dalam kegelapan malam, setelah pulang dari masjid.

Ia enggan untuk memasuki rumahnya yang selalu ramai ketidakjelasan itu. Din hanya ingin membaca Al-Qur'an dengan tenang. Menghayati setiap arti yang akan menusuk kalbu.

Tetapi, harapan Din tidak semudah itu dapat terwujud. Seandainya saja, Din mudah terbangun di sepertiga malam. Pasti ia bisa mendapatkan ketenangan. Masalahnya, tidur Din saja sudah di seperdua malam. Bagaimana ia bisa bangun secepat itu? 

Terkadang, Din hanya berharap ada yang membangunkannya. Tetapi sepertinya sia-sia, karena, untuk sekedar sholat subuh saja, Ibu Din tidak pernah sudi melakukan itu. Mau tidur sampai siang pun, Din akan tetap dibiarkan mengiler di ranjangnya.

Sekarang, ia belum memasuki rumah. Pikirannya sedang jalan-jalan bersama langkah gontai kakinya.

"Seharusnya tadi aku baca Al-Qur'an di masjid saja, ya.... Tapi… disana juga sudah tidak ada wanita muda, semuanya orang paruh baya, bukankah termasuk hal yang tidak baik juga, jika aku seorang gadis, melantunkan ayat-ayat di sana, lantas kemudian menjadi fitnah. Ah, serba salah, deh!" gerutu Din sembari terus berjalan.

Din memang bukan gadis yang teramat cantik, kulitnya juga tidak putih mulus. Namun benar, memang banyak masyarakat yang membicarakannya, "Sudah cantik, baik, sopan santun, sholeh lagi..." Begitu kata mereka saat tidak sengaja Din mendengarnya sepulang dari warung.

Mungkin hal itulah, yang menjadi salah satu sebab ketidaknyamanan Din ketika berada diluar rumah.

 Setth!

Din menyeringai pada sebuah motor yang berhenti di depan rumahnya. Motor yang teramat asing, belum pernah Din lihat sebelumnya, dikendarai oleh dua orang pria. Siapa mereka?

Din kembali ke rumah, Ibunya tengah menyuguhi tamu-tamu pria dewasa itu.

Din memilih memutar, Ia masuk dengan meminta Rumy membukakan pintu rumah bagian belakang. Menghindari tamu itu.

"Siapa yang datang, Rum?" tanya Din.

"Ga tahu, Mba. Katane temannya Ibu."

"Owalah..." Bibir Din membulat. Mungkin mereka adalah salah satu kenalan dekat Ibu, pikir Din.

Din hendak masuk ke dalam kamar, melalui sekat pintu arah ke ruang tamu. Sang Ibu sepertinya sedang asyik mengenalkan keluarganya.

Sesaat kemudian, tiba-tiba langkah Din dihentikan ibunya. Ia dipanggil.

"Din, kemari..." seru sang Ibu.

Din tidak dapat menolak, Ia langsung bersimpuh di samping ibunya.

"He... malah duduk disini. Gimana, tho? Itu! salim dulu, sama Oom." 

Din terdiam beberapa detik. Berjabat tangan? Pada orang yang tidak dia kenal?

Din lagi-lagi mengabulkannya. Ia menjabat kedua pria dewasa berjaket hitam-hitam itu. Mukanya yang berkumis terkesan sama sekali tidak ramah bagi Din.

"Ini anakku yang nomor dua. Din. Dia sudah kelas 1 SMA sekarang." Ibunya memperkenalkan.

Setelah berjabat tangan Din mundur, saat diperkenalkan ia pun hanya melempar senyum kecut sembari menunduk.

"Sekolah di mana, Dek?" tanya salah seorang pria di antara mereka.

Dengan gugup, Din berusaha bersikap biasa saja. Ia menjawabnya lirih, "Eum... sekolah di MAN, Om, dekat sini," ucap Din gugup.

Pria itu mengangguk, mengerti.

Din merasa, sepertinya ia tidak lagi dibutuhkan di sana. Akan lebih baik, jika ia segera pergi saja.

Ia masuk masuk ke dalam kamarnya, mimik wajahnya seketika berubah muram. 

Ia menyesal.

Selama ini, ia selalu berusaha menjaga dirinya agar tidak bersentuhan dengan lawan jenis. Namun, usahanya selalu saja gagal. 

Seandainya saja, sang Ibu tidak pernah menyuruhnya untuk berjabat tangan pada pria yang bukan mahramnya. Din yakin, dia pasti mampu istiqomah untuk tidak melakukannya.

Syarifah Fatima Musawa benar, beliau pernah berkata, "Yang sulit itu bukan berkembang, tetapi, menyesuaikan diri dalam lingkungan yang tidak berkembang. Yang sulit itu bukan berubah, tetapi berada di tempat yang tidak percaya bahwa kamu bisa berubah. Yang sulit itu bukan menghadapi kematian, tetapi bertahan menjalani kehidupan . Begitu bukan?"

Dengan mantap, sekarang Din mampu menjawab, "IYA!". Tidak hanya sulit. Bahkan, sangat. Din baru menyadarinya. Ia menahan sesaknya dalam pengap.

Meski begitu, Din harus tetap bersyukur. Karena, walaupun Ia belum mampu untuk hal itu—tidak bersentuhan dengan lawan jenis.

Setidaknya ia sekarang sudah mampu menjaga hal lain, Ia sudah berhasil memenuhi kewajibannya sebagai seorang wanita, menjaga muruah pada dirinya, dengan cara tidak pernah menunjukkan sehelai surai pun, di hadapan orang yang bukan mahramnya.

 Din bangga Ia bisa melakukan kebiasaan baiknya itu sejak SMP, sejak neneknya menyuruhnya mengaji di depan rumah, sejak Din dikenalkan oleh guru agama tercintanya. Saat ia masih berada di Lampung. Di mulai dari sanalah pribadi awal Din dibentuk.

Ibu Din masih asyik sekali berbincang , hingga tak menduga telah hampir larut malam. Entah apa yang dibicarakannya. Yang jelas, perasaan Din mulai tidak nyaman. Ia tidak akan pernah suka, jika hal itu menjadi kebiasaan baru di rumahnya. Apalagi, ibunya sekarang tengah berstatus sebagai seorang janda. Apa yang akan masyarakat pikiran? Apa yang orang-orang akan katakan? Terlebih, membayangkan apa yang akan Allah pandang?

"Semoga saja, tidak. Aamiin," tukas Din.


 ✧༺♡༻✧

Hari menjelang sore, saat itu mendekati waktu pulang sekolah. Madrasah Aliyah Negeri 22 Bangkalan digemparkan oleh sebuah teriakkan. Berasal dari lorong yang terletak di dekat koperasi—depan taman baca.

Lihat selengkapnya