Ya, Suatu Saat Nanti

Asya Ns
Chapter #19

"Oke, Din. Calm, Allah In Here."

Din duduk termangu di kamarnya. Ia telah beberes lebih cepat hari ini. Sempat sedikit berharap rasa bangga, atau mungkin pujian dari Ibunya terlontar. Meski dia tau, semuanya adalah kosong. Untuk apa melakukan sesuatu demi manusia? Allah jauh sekali lebih berhak daripadanya.

Din tidak berani keluar kamar malam itu. Sekali lagi, di rumahnya kembali ada tamu. Pria asing yang berbeda, mengendarai motor CBR. Din tidak mengenalnya, ia berbeda dengan orang yang Din salami kemarin. Itulah sebabnya, Din menolak keluar kamar, sesekali ketika dipanggil berpura-pura sudah tidur. Karena Din tidak mau disuruh bersalaman lagi.

Sekonyong-konyong suara dengkingan kodok memenuhi langit kamar. Malam itu Din baru sadar bahwa para kodok itu terdengar indah bersahutan.

Penyebabnya jelas adalah hujan tadi sore. Kolam-kolam dipenuhi air, juga selokan dan kubangan air.

Hujan menciptakan kondisi optimal bagi para betina katak untuk bertelur di kolam. Semua itu disebabkan, karena katak suka dengan cuaca yang lembab dan dingin.

Setelah hujan, kelembaban lingkungan akan meningkat, awan mendung yang membuat gelap sekitar akan menambah suhu dingin. Pun inilah yang disukai para amfibi, mereka mulai dilimpahi makanan dan dimulainya musim perkawinan.

Suara para katak itu membuat Din melayangkan pikirannya. Ia mengingat kembali bagaimana Nenek dan Kakeknya dulu bersamanya di Lampung. Rumah mereka masih di pedesaan, tumbuhan juga masih sangat asri. Saat itu Din sangat menyukai daging. Sangking begitu sukanya, sang kakek sampai rela berburu katak di malam hari. Mereka menyebutnya menyuluh, lantas dimasak neneknya dan dimakan Din.

Din tersenyum haru, geli menggelayut sebenarnya mengingat kembali hal itu. Karena sekarang, Din sudah tahu, bahwa kenyataannya hewan itu—katak termasuk hewan yang masih diperdebatkan para ulama antara haram dan halalnya.

"Lha, kenapa aku tidak telpon Mbok²⁸ dan Kakung²⁹ aja! Mereka juga pasti belum tidur jam segini." Din mulai menekan kontak ponselnya.

Menyalur melewati selat dan sampai di lemari baju kakeknya.

Tutt! Tutt!

"Pak, itu loh, HP-mu muni³⁰," kata sang Nenek.

Kakek yang tengah duduk menonton televisi itu, lantas bangkit, ia membuka lemari, mengambil hp, dan berusaha membaca huruf-huruf yang mulai buram di matanya.

"Pasti, Din yang telfon, yo?" Neneknya antusias membuntut.

Perut buncit, kulit keriput, dan rambut yang beruban memutar itu masih belum memencet ponselnya.

"Iki, loh, Pak yang ini," seloroh Neneknya lagi, tidak sabaran.

"Sek²⁵, tho, sabar. Ini yang nelepon siapa dulu," tolak Kakek dengan nada Jawa khasnya.

"Alah, Pak-Pak. Kelamaan, selak mati, kui!" ucap Neneknya bersungut-sungut.

—Maaf, nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat menerima panggilan. Cobalah beberapa saat lagi—

"Lho, kok ngga diangkat?" batin Din. Apakah dia sekarang, mungkin harus menghubunginya lagi?

Telepon Kakeknya berhenti berdering.

"Kan, Mati!" dengus sang Nenek.

Tak berselang lama kemudian, teleponnya kembali menyala.

"Cepet angkat, Pak!" pekik sang Nenek.

Kakeknya dengan cepat menekan tombol hijau, "Halo?" ucap Sang Kakek, menempelkan telepon cumplung itu ke telinganya.

Mata Din langsung berkaca-kaca. Sejak kelas satu ia sudah tega melupa, tidak sempat lagi menelfon atau berkabar. Semua itu karena kesibukan dunianya, mengerjakan tugas sekolah, membersikan rumah, membersihkan masjid.

Meski seharusnya, tetap saja, itu tidak dapat ia jadikan alasan. Ia tidak boleh semudah itu melupakan pengabdian Kakek dan Neneknya yang telah merawatnya sejak kecil. Mereka sudah seperti ayah dan ibunya sendiri, mereka yang menimang Din sejak bayi merah baru berumur 8 bulan; dahulu.

"Assalamu'alaikum, Kung. Ini Din," ucap Din lembut.

"Wa'alaikumsalam,–" Kakek menatap nenek, "Oiya, Mak, ini, Din."

"Halo, Din, gimana kabare?"

Lihat selengkapnya