Kata sia-sia nyaris tidak pernah ada dalam kamus Din. Apalagi, jika itu soal waktu, raga Din hampir tidak pernah memilikinya. Sejak kepergian sang ibu, Din baru menyadari bahwa keberadaan ibunya dengan khotbah panjang lebar lebih berharga dibanding sekarang.
Lisya sudah dibawa pulang oleh suaminya ke Lampung timur; salah satu kabupaten di provinsi Lampung. Ia dibawa pulang sebab kakak ipar Din—suami Lisya, ingin membuktikan kepada ibunya, bahwa yang ia katakan itu salah. Sebuah perkataan jikalau suami Lisya tidak mampu mengurus keluarganya, hasil kerja yang tidak bakalan cukup, serta sampai-sampai menyuruh Lisya bekerja.
Ipar Din tidak terima, ia pernah berkata, "Se-miskin dan se-melarat apa pun keluarga saya, saya tidak akan pernah memperbolehkan istri saya bekerja. Sekuat tenaga biarkan saya saja yang bekerja, itu tugas lelaki, guna istri bukan untuk mencari nafkah. Cukup diam dirumah, menerima dengan cukup, seberapa pun yang diberikan suaminya," paparnya kala itu.
Meskipun perkataannya benar terkesan kritis dan agamis. Namun, aslinya, sikap kakak ipar Din, tidak jauh berbeda dari Lisya. Mereka bertemu di tempat yang sama. Dahulu, saat Lisya masih gadis, ketika bekerja di luar negeri—di Taiwan. Mereka berjumpa di sana, awal pertama mereka memadu cinta, tanpa restu orang tua, juga tanpa jabat tangan lebih dulu dengan penghulu.
Keduanya langsung menikmati tubuh satu sama lain, pulang ke Indonesia dalam keadaan membawa tubuh dua.
Miris. Benar, semua itu teramat sangat miris bagi Din yang mendengarkannya. Apalagi mengingat kembali bagaimana rasanya hidup dalam keluarga yang sering orang-orang sebut sebagai broken home. Kata 'terbiasa' lah yang membuat Din masih berdiri kuat. Sebuah hari tanpa masalah, baginya itu sudah lebih berharga daripada seribu emas permata.
"Mba.... Sepatuku!" teriak Rumy selaras dengan menetesnya embun pagi. Kabut putih masih menghalau pandangan keluar.
"Di rak, lah, dicari dulu, toh, Mba lagi masak ini. Gosong nanti kalau ditinggal," pekik Din. Tangannya sibuk memegangi sutil, kakinya tidak berhenti kesana-kemari.
Ia selalu berangkat pagi - pulang sore ketika sekolah. Hal itu membuat memasak adalah salah satu pekerjaan yang hampir tak pernah ia lakukan.
Jika dulu masih ada ibunya, semuanya selalu sudah siap. Ia tidak perlu mengerjakan urusan dapur. Kali ini berbeda. Sekarang Din harus bangun pagi-pagi buta. Tidak boleh terlambat juga berangkat ke sekolahnya, atau poin 5 pelanggaran akan menunggunya di ruang BK.
"Ketemu engga?" tanya Din lagi.
"Ketemu, Mba, Rumy mau makan, sekarang!" Rumy mendekat ke dapur.
"Lihaten to, Rum, Mba-mu goreng telur aja gosong," ceteluk kakek Din yang dari tadi duduk santai, asyik menonton.
Apa lagi yang mampu kakek Din lakukan selain memprotes masakan pertamanya.
"Masa' iya? Haha..." Rumy terangkut tawa.
Din berangasan, " Ya, biarin tho, tinggal makan aja ribet. Dah, seterahlah mau dimakan apa engga." Din bangkit. Ia juga sudah selesai menanak nasi dengan kuali. Berkali-kali ia mondar mandir keruangan tengah untuk melongok jarum jam. Masih aman, ia belum berpindah jauh dari angka 6.
Meski kakek Din suka pilih-pilih makanan. Sepertinya, kali itu ia menerima. Bukan sebab suka, tetapi sebab tidak ada pilihan lain lagi, selain memakan telur rebus yang Din goreng gosong.
"Huh!" Din mendengus. Ia tidak sengaja melakukan itu. Tadi dia hanya terkejut, saat kayu kering yang ia suguhkan dengan cepat dilahap api. Mengakibatkan telur rebus jika digoreng meletup-letup keras. Din lantas ketakutan, menyiapkan senjata perlindungan—tutup panci. Untuk segera menyergap telur itu dalam wajan. Kemudian, terjadilah hasil kegosongan itu.
"Mending suruh yang lain aja deh jangan masak, Allahumma...."
"Mau dibilang kelas satu SMA belum bisa masak, gak papa. Mau dibilang apa aja seterah, deh," dengus Din.
Hari itu Ia seakan disuruh les memasak secara paksa. Tidak dapat menolak, atau ia akan membuat serumah kelaparan.
Din berangkat sekolah setelah memastikan adiknya berangkat, rumah dan halaman sudah tersapu bersih, serta piring kotor yang kembali ke rak.
"Ah, masalah baju kotor ini, nanti saja," ucap Din merendamnya, lantas meninggalkannya. Ia berpamitan. Akhirnya, sekarang ia dapat bernapas lega. Asyiknya lagi, kini Din dapat menguasai motor itu sendirian, tanpa harus diantar jemput oleh Lisya.
Sekolah tetap masih dalam sistem full day, pulang sekolah juga Din masih harus membersihkan masjid. Untung selalu ada Zayn, ia selalu menolak ketika Din menyuruhnya pulang saja. Sudah berkali-kali Din bilang, tidak usah repot-repot membantu. Tetapi, Zayn masih saja menjadi yang terdepan membantunya, meski Din tahu atau tidak tahu.
Hanya imbalan sebuah senyum yang Din suguhkan, menurut Zayn itu sudah lebih dari cukup untuk kembali lagi besok.
"Besok gak usah, udah lah Zayn, ini pekerjaanku, kewajiban dan tanggungjawabku. Kamu mending besok langsung pulang aja, atau nongkrong aja sama temen-temenmu kayak biasanya, gak usah bantuin aku," pinta Din yang duduk berdampingan dengan Zayn di serambi masjid. Mereka berdua sedang mengenakan sepatunya.
"Gak bisa, dong, justru besok aku malah mau nepatin janjiku ke kamu, aku, kan, mau ngasih kamu es krim. Sebenarnya tadinya mau hari ini, sih. Eh, malah kelupaan," ucap Zayn kasual.
"Ya, udah, lah. Terserahmu aja kalau gitu. Tapi... makasih banyak ya, bantuannya lagi." Din tersenyum manis. Bersama, mereka menuju parkiran untuk mengambil kendaraan.
"Oke, Din... See you, India!"
✧
Minggu yang lalu, sudah lebih dari berapa kali saja Din melihat ibunya membawa pria masuk kedalam rumah. Prianya selalu berbeda-beda, dan entah mengobrolkan apa setiap malamnya. Baginya, hal itu bukan hal biasa. Ia pernah mencoba bertanya, tetapi sang Ibu seperti selalu menutupi kebohongannya dengan kebohongan yang lain.
Ia tidak bisa melebihi batas wajarnya. Sebagai seorang anak kemampuannya hanya untuk taat terhadap perintah orang tua.
Ia hanya mampu berdoa. Meski, di rumah sekarang hanya bersama Kakek dan Rumy, semoga semuanya akan tetap baik-baik saja.
Allah mendengarkan Din. Bahkan, Allah tahu Din bukan wanita yang lemah. Allah rindu doa Din, Allah rindu bukti seberapa tebal keyakinannya sekarang. Karena sungguh, semakin Allah mencintai seorang hamba, semakin besar pula ujian yang didapat.
Hingga pada suatu ketika, terjadilah sebuah peristiwa yang hampir merenggut doanya.