Ingin rasanya Din mengaduh, dan menjerit kesakitan. Tumitnya menyandung kaki kursi saat ia beranjak sangat terburu-buru tadi. Tetapi, tidak sempat Din melakukannya. Sekarang, yang terpenting baginya adalah bagaimana cara menjauh dari kedua pria bodong ini.
Din berdiri, ia memekik, "Oh, iya! Din lupa kalau Din disuruh nyusulin kakek sekarang. Ah, Din mau pergi dulu, Om." Din berkata asal, ia mencari alasan, tidak lagi berpikir berbohong itu dosa atau bagaimana, intinya Din akan meloloskan diri.
"Owh... Mau pergi, ya?" Pria gemuk itu tampak sedikit kecewa. Namun, ia tetap duduk, tidak beringas macam tadi.
"Iya, Om. Gak papa, kok, Om, kalau Oom mau tinggal di sini juga gak papa kok, Om. Silahkan. Intinya Din sekarang mau jemput kakek dulu. Nanti kalau ada perlu, boleh langsung obrolin sama kakek, atau Din telponin ibuk lagi, biar ngomong langsung sama Oom. Din harus pergi sekarang." Din menjelaskan semua itu dengan sangat cepat, seperti gemetar menjalari ucapannya. Meski ia tetap berupaya ramah tersenyum.
Pria itu beranjak. "Oh, tidak papa, Dik kalau mau pergi, Oom juga mau pulang, kayaknya... Eum... besok kapan-kapan lagi aja, deh, kesininya kalau ibumu udah pulang," ucapnya, mengajak si teman untuk ikut bangkit.
Din bergeming. Melihat kedua pria tadi berjalan gontai keluar rumahnya.
"Alhamdulillah..." Syukur tidak berhenti terbatin dalam hati Din.
Mereka menaiki motornya, "Kami pulang dulu, Dik, jaga diri. Hati-hati. Sekarang banyak orang asing, yang tidak dapat dipercaya, dan di daerah ini juga sepertinya masih banyak penjahat yang tidak mau menyerah jika aksi pertamanya gagal," ucap Pria gemuk itu, dalam nadanya terlantun seperti madu yang mematikan.
Din menutup pintunya cepat. Ia sudah tidak peduli lagi, pria itu bicara apa, mengucap salam atau tidak. Din bergegas menarik gembok kunci rumahnya, masuk ke kamar, mengunci kamarnya, lantas memeluk bantal erat-erat.
"Huft... Huft..." Isakkan tangis Din terdengar tersayat-sayat.
Sebenarnya kedua orang tadi siapa? Ada urusan apa dengan ibu Din? Mereka tampak seperti bukan orang baik-baik. Bahkan, mereka terlihat sangat ingin menuruti nafsunya. Din berusaha menangkis pikiran buruknya jauh-jauh, pikiran yang sempat terhubung dengan Ibunya itu.
Apakah ibu menolak bekerja kemarin hari itu untuk? Ah tidak, lantas mengapa ibunya pergi tiba-tiba? Ibunya menjadi lebih banyak pendapatan meski hanya di rumah, perhatiannya juga berkurang.
Din mulai menakutkan banyak hal. Namun, berhak dia apa untuk memprotes pada Tuhan? Sedang ia takut, bagaimana jika yang masuk ke perutnya selama ini bukan berasal dari sumber yang halal?
"Oh, ya Robbi... Tidak cukupkah kehancuran keluarga ini? Atau masih ada banyak lagi? Aku benci kehidupan!! Aku tidak punya siapa-siapa sekarang. Aaa...." Tangisan Din pecah. Kini seakan ia menjadi sangat leluasa, di rumahnya tanpa siapa pun.
Pikirannya buntu malam itu. Hingga larut, mata Din bengkak. Dengan susah payah ia berusaha untuk dapat tertidur. Astu Allah yang semakin menyayanginya, membantunya, memberikan ia kenikmatan dapat terlelap, mendekap pengap, hingga fajar datang menyingsing.
✧✧
Meski pagi telah tiba pun. Din sama sekali tidak bersemangat untuk bersekolah hari itu, ia sama sekali tidak melawak, sama sekali tidak menghiraukan kejahilan Zayn, juga tidak menjawab pertanyaan dari Guru atau banyak bicara ketika ditanya.
Benar memang, dia berada di sekolah, tetapi sesungguhnya, pikirannya berjalan ke mana-mana, memikirkan banyak hal, apa yang harus ia dilakukan setelah ini? Bagaimana jika pria itu kembali lagi nanti malam?
Ketika seorang guru pria mendekatinya untuk menjelaskan pelajaran saja Din saja sudah gemetar, ia meminta berpindah tempat. Ia memaksa Fatma agar bertukar tempat duduk dengannya. Lantas Fatma disuruhnya, duduk sementara bersama Dila; di depan. Ia hanya bermaksud ingin duduk sendiri.
"Kamu kenapa sih, Din? Kalau ada apa-apa cerita, dong," ujar Dila menolehkan kepalanya ke belakang.
"Hehe, aku nggak papa." Din tersenyum lebar-lebar. Dia agak ragu, mampu— berhasil menggunakan topengnya dengan tepat hari ini.
"SE-orang, Din, tiba-tiba pendiam, dan gak papa?! Gak mungkin. Pasti ada apa-apa!"
"Ayolah... Din, cerita aja, aku siap dengerin," imbuh Dila.
"Hehe, gak papa, beneran. Aku cuma nggak enak badan aja, Dil. Biasalah. Kan, kamu juga tahu sendiri, kalau malam aku tuh suka bergadang sampai lewat larut."
"Aigo! Din... aku, kan, udah pernah bilang. Kalau kamu mau bergadang, tuh, tahu waktu, dong!"
"Hehe, iya Dil, maaf, ya." Din masih tersenyum.
"Apa? maaf?"
Din hanya mengangguk pelan.
"Seorang Din tidak mengajak berdebat dan langsung meminta minta maaf?"
"Ini gak mungkin... Din pasti sedang dalam–"
"Dil! Stop! Udah, ya. Diem!"
"Sudahlah... Din, yang diuji gak cuma kamu, kok—"