Ya, Suatu Saat Nanti

Asya Ns
Chapter #22

Romantisme Senja

"Lo ngapain buru-buru banget, sih, Sein, itu baju dilipet dulu yang bener," ucap somad menasehati. Menatap Husain yang sedang memasukkan paksa baju olahraganya ke dalam tas.

"Keburu mau pergi, Mad."

"A', elah pergi tinggal pergi. Lagian, inikan udah jam pulang sekolah. Kenapa gak santai aja, sih, beresinnya? Biasanya juga, kan, kamu selalu jadi cowok super rajin number one,' imbuh Somad.

Husain masih terus memasukan barangnya secara asal kedalam tas hitam besar miliknya; tas 3 lapis tingkat resleting.

"Masalahnya, sekarang aku lagi ditungguin Bu Turisia, Mad, suruh bantuin beliau, bawa buku pelajaran tadi ke kantor," papar Husain.

"Iya... ngerti dah, bahwa Ucain Kun ini super sibuk. Arienne..."

"Pinter, haha. Dah, ya, sekarang lagi mau jadi anak baik dulu. Babay somad sayang, sampai jumpa besok." Husain mengendong tasnya, mengambil buku di meja, hendak berjalan keluar.

"Gila, sih, Sein, geli saya." Somad bergidik.

"Canda, sih, serius amat udah kaya Squidward. Wkwk."

"Gue jelmaannya. Ngapa?"

"Heh, Sein!" Somad ingin menyampaikan sesuatu yang dilupakannya.

"Udah, besok lagi aja. Assalamualaikum." Husain tak memberikan celah, ia sudah melangkah pergi, sempoyongan mengantarkan buku-buku tugas semua anak kelas. Itu merupakan salah satu kewajibannya sebagai ketua kelas untuk melakukan itu.

"Ah, sudahlah." Somad mengalah, ia pulang lebih dulu hari itu.


✧✧

Husain berjalan menuju kantor, tetapi pandangannya terhenti tiba-tiba ketika melihat Pak Bandi sedang berdebat dengan seorang pria. Lagaknya seorang adik kelas sepertinya.

"Pasti buat ulah, suruh benerin bacaan sholat," tebak Husain nyengir.

"Haha... Aku dulu juga pernah. —Ah, sudahlah. Biarin aja, palingan mereka pingin coba-coba, Haha..." Husain mengalihkan pandangannya. Sekarang hendak masuk ke dalam kantor.

"Assalamualaikum... Husain mengucap salam, dari pinggir pintu, mengamati ruangan sejenak, Ia tengah mencari Ibu Turisia.

"Eh, Husain, nyari siapa, Sein? Tanya seorang guru wanita dengan ramah. Semua guru yang bersiap hendak pulang ikut menatapnya.

Belum sempat Husain menjawab. Pertanyaan itu terpotong.

"—taruh sini saja, Sein. Kesini" Bu Turisia melambaikan tangan, menyuruhnya berjalan mendekat.

Husain melaju, setelah melepas alas kakinya.

"Gak usah dilepas, Nak. Kantornya udah kotor," pekik salah seorang Guru.

"Hehe, tidak apa, Ibu." Husain tersenyum semringah.

Husain membungkukkan badannya, hendak melintasi beberapa Guru pria yang sedang asyik berbincang.

"Misi, Pak, punten..." pintanya.

"Oh iya... Husain." Guru pria itu minggir.

Hampir semua guru mengenalnya, bolak-balik kantor adalah kebiasaan lamanya. Bisa dibilang hingga bosan mereka menatap cengiran wajah Husain.

Husain meletakkan buku yang dia bawa ke meja di dekatnya. Lantas menyalami guru pria itu, menciumnya penuh makna.

Berlanjut ke guru di sebelahnya, mereka seakan meridhoi Husain.

"Taruh depan meja situ saja," suruh Bu Turisia.

"Sini, Bu?" Husain memastikan.

Bu turisia mengangguk, mengeluarkan tumpukan kertas-kertas berantakan dari dalam laci.

Husain bermaksud hati ingin berpamitan.

"Husain sibuk?" seloroh Bu Turisia.

"Ti-tidak sepertinya Bu," jawab Husain sempat gelagapan.

"Alhamdulillah kalau gitu, berarti bisa tolong bantu ibu nyusun kertas ini, isinya data rapot lama dari setiap kelas, ini mau diganti dengan e-rapot yang terbaru. Sudah di input datanya, tinggal diganti, Husain bisa bantu?"

Duh, Bagaimana ini? Maksud hati Husain ingin cepat pulang, murojaah-nya masih banyak. Pasti Abuya menunggunya untuk jadwal setor hafalan hari ini. Tetapi, menolak perintah Guru juga tidak mungkin ia lakukan; baginya. Setelah mengaji kitab Ta'limal Mutta'alim, semalam, bagi Husain isinya juga harus ditetapkan ke para Guru di sekolah. Siapapun yang bergelar Guru berhak mendapatkan kemuliaan itu. Atau murid yang belajar akan rugi. Ilmu itu harus bermanfaat, dan salah satu langkah kunci dari bermanfaat itu adalah Guru.

"Ah, iya, Bu… Insya Allah Husain bisa, Bu." Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Husain berlutut, tangannya berusaha meraih meja yang di sana terdapat banyak sekali kertas, sepertinya ia yang harus menyusun semuanya.

Bu Turisia tertegun. Kaget melihat Husain di bawah kakinya.

"Haduh, Husain! Ngapain di situ? Itu, ada kursi kosong banyak, loh, Husain. Dipake... jangan malah duduk di situ, kotor," ujar Bu Turisia menunjuk kursi di sebelahnya.

"Hehe… Tidak usah, Bu, tidak apa-apa disini saja, hehe" Husain kembali nyengir, satu yang berada di pikirannya. Duduk di tempat guru itu su'ul adab, tidak baik, ada banyak murid atau santri-santri yang tidak bermanfaat ilmunya hanya karena hal kecil seperti ini. Mereka banyak yang tidak mengetahuinya. Mereka sering bercanda seperti itu, duduk di kursi guru, menariknya untuk tempat bantu berdiri, atau sampai keterlaluannya sampai mengangkat kaki di meja guru juga.

Husain menelan ludah.

"Ibu yang perintahkan, Husain," paksa Bu turisia, ia tidak tega melihat Husain dibawahnya semacam itu.

Husain menurut, dia juga tidak dapat menentang orang tuanya di sekolah. Patuh sepertinya akan lebih baik.

"Kursi itu tidak dipakai, Husain, tenang saja, kamu boleh duduk di situ saja."

"Alhamdulillah, untung gak dipakai," pikir Husain lebih tenang. Sepertinya Bu Turisia mengerti apa yang ditakutkan Husain. Sekarang dia bisa segera memulai mengelusi satu-persatu kertas itu, dijadikannya padu, agar bersama pasangannya.

Sedang Bu Turisia sedari tadi disibukkan dengan laptop dan alat printernya. Raut wajah yang murung tampak sekali bahwa ia sedang banyak pikiran.

Husain senang bisa membantu.

Kali ini Din akan membersihkan masjid itu sendirian. Tidak ada Zayn yang biasa membantunya, entah kemana anak meresahkan itu pergi. Tetapi, sejak jam pelajaran terakhir, batang hidungnya sudah tidak nampak. Bahkan, tercatat sebagai absen. Jika ke kamar mandi? Kok belum juga kembali.

"Alah, seterah lah, ngapain juga aku mikirin Sendal Jepit. Gak penting. Sendirian, kan, malah lebih leluasa." Din mendengus, menyingsingkan jilbabnya yang menjulur, ke pundak. Melepas sepatunya.

"Oh, Ya Allah... ternyata udah kotor banget... lama mungkin, ya, aku gak ngepel?" Din sedikit cemberut. Bukan sebab masalah membersihkan itu, tetapi masalah waktu. Waktunya sungguh hanya sedikit, Din belum memasak, belum mencuci, membereskan rumah, dan lainnya. Juga adik dan kakeknya akan makan apa sore itu, jikalau Din tidak memasak? Apalagi, pulang kelewat senja.

Rasa sedikit menyesal melintas dalam pikiran Din. Kini, Ia sudah mendorong pintu ruangan marbot itu, sudah bersiap menyapu semuanya.

Selesai.

"Sekarang, tinggal mengepel." Peluh membasahi jilbab putihnya. Matanya berkaca-kaca dalam kesunyian masjid pada waktu setelah ashar itu.

Tiada terdengar apa pun, selain gema-gema kecil yang timbul akibat benda-benda yang Din gesekkan. Seperti satu air ember dan sebuah pel-pelan yang telah siap digunakannya bertempur.

Keramik besar-besar persegi itu tidak habis-habis Din gosoki satu persatu.

Lihat selengkapnya