*lokasi jatuhnya Din.
"A- AAA.... IN! Aaa!!"
Mata Husain bergerak cepat, mengamati gerakan jatuh kepala adik kelasnya itu. Apa yang harus dia lakukan? Husain tidak sempat untuk lama berpikir, beberapa detik saja kepalanya mungkin bisa bocor menghantam pinggiran lantai keramik.
"Awass!!" teriaknya.
Bersamaan dengan itu, langkah Zayn terhenti. Ia telah kembali ke sekolahan. Tangannya menggenggam dua buah es krim coklat yang telah ia siapkan untuk Din.
Namun, sorot matanya kini berubah tajam. Wajahnya tampak merah kehitaman. Ia tidak mengerjap sedikitpun. Dari jarak sekitar 10 meter itu tubuhnya sudah mengkristal.
Tangan Husain spontan melemparkan tas ke arah jatuhnya kepala Din.
Yas! Tepat sasaran.
Braagh!!
Din jatuh berdebam. Terlentang di lantai masjid. Ia pikir mungkin akan ada pendarahan, hilang ingatan, atau kepalanya bocor.
Tetapi tidak, kepalanya aman. Terasa menimpa sebuah benda yang sedikit keras, namun juga sedikit empuk.
"Huh, Alhamdulillah ya Allah... Untung saja!" ucap Husain, menarik napas lega.
Mendengar suara itu, Din ingat kembali, bahwa Husain masih ada di sana, dan sekarang apa? Dia malah berbaring layaknya di pantai?!
"Tidak!" Din segera bangkit.
Greggk!
"Au!! Astaghfirullah..." Din memegangi pinggangnya yang berbunyi. Terasa sakit sekali.
"Ya Robb.... Kamu gak papa, Dek?" tanya Husain ikut khawatir, mendengar suara itu, ia berusaha mendekat.
"JANGAN DEKATI AKU!!" Tidak tahu kenapa Din spontan berteriak sedemikian rupa. Pekikkan itu muncul tiba-tiba saja dari bibirnya. Seakan jantungnya tidak mau memompa darah lagi.
Husain tertegun, ia melangkah mundur—merasa bersalah.
Din masih takut tercampur erang kesakitan, berusaha memegangi lokasi yang berasa nyeri sekali itu.
"Aduh, Kak. Maaf!" Intonasi Din terdengar masih gugup dan sangat berat.
"Kakak, yang minta maaf, ya, Dek." Ingin berucap demikian, tapi susah sekali Husain utarakan.
Din bukan wanita lemah. Yang hanya jatuh seperti itu dia harus menangis atau bersikap lebay supaya berjalan dipapah.
Din menunduk sejenak, mengambil tas Husain yang kini sudah basah karena air.
Din mengelapnya, menyodorkan kembali kepada Husain.
"Ya Allah, Kak, terima kasih banyak, tadi itu ... maaf ana teriak, untung aja, ada Kakak," ucap Din.
Husain kembali menarik dalam napasnya. Selama ini ia selalu menundukkan pandangan, ini pertama kalinya ia melihat wajah Din secara rinci. Itupun tidak begitu disengaja sebenarnya. Hanya karena Husain ingin bermaksud mengambil tas yang diulurkan oleh Din.
Wajah Din memang tidak terlalu cantik sempurna. Begitupun dengan Husain. Namun, kilat cahaya matahari yang menyinari lokasi, membuat keduanya seakan sedang berada dalam lokasi pemeran utama sebuah teater.
"Manis, tapi matanya mengapa merah? Bengkak?" batin Husain.