Ya, Suatu Saat Nanti

Asya Ns
Chapter #25

Sengaja Salah Orang

Bait-bait kalimat masih berjalan dalam kornea mata Husain, dicermati satu persatu apa arti dari kata tersebut. .

"Cerita menggunakan POV tiga.... Cerdik biar gak ketahuan."

"Eh, berarti dia baper, dong? Ya Robb… 'Perasaan Hujan berkecamuk tidak karuan'. Itu maksudnya apa?"

Husain menelan ludah. Ia berusaha memahami dengan tekstual.

Tapi ia ingat, ini adalah tulisan, dan tulisan adalah sastra, sastra tidak akan semudah itu untuk dipahami. Husain yakin, paparan cerita itu masih banyak yang ditutup-tutupi.

Satu part kembali ia selesaikan membaca.

"Sekarang tinggal part terakhir," ujarnya.

Ia menggulir layar. Kemudian, munculah lagi sebuah tulisan.

—Maaf, ya.

Dalam part ini penulis stuck. Berhubung sepertinya tulisan ini juga tidak ada yang baca. Jadi, penulis putuskan untuk berhenti sejenak. Karena, sepertinya Mereya pun telah menjadi milik Sathiya. Bye Readers see u next Time—

Husain mengelus kepalanya, "Aduh ya Robb… Kok bisa-bisanya dia menyimpulkan seperti itu." Menghenyakkan tubuhnya pada badan kursi, memijat keningnya sebentar.

Ia kembali menatap laptop layar laptopnya dengan sendu, mengetik pada kolom komentar.

"Semangat Thor…. Tidak ada yang tidak mungkin. Mereya akan bersama Hujan kali ini. Aku penggemar setia tulisanmu."

Dengan lincah, jari lentiknya menekan anak-anak tombol keyboard, dan dikirimkannya komentar itu.

"Yang kuat ya, Din." Kata itu terucap dari bibir Husain tanpa ia sadari. Ia merebahkan tubuhnya pada ranjang, lantas tertidur.

Mungkin, malam itu, perasaan Husain dapat diibaratkan seperti, seseorang yang memakan makanan tidak enak, lantas, tidak menyukainya. Kemudian, ia mencobanya lagi di lain hari, pada tempat berbeda, dengan rasa yang berbeda, kali itu, terasa lebih enak.

Pastilah, orang tersebut akan menikmatinya. Sebab, rasa yang ia cicipi tadi telah meluluhkan hatinya, meluluhkan otaknya agar mau memakannya kembali di lain waktu.

Rasa makanan itu akan tertanam kuat pada hatinya selamanya. Bisa jadi pula, sejak mencicipi itu, ia pun mulai menyukainya.

Begitu juga rasa cinta, ia itu ringan, seperti rasa lapar dan makanan. Ketika kita lapar apakah kita akan berdosa? Jika, tidak.

Sama. Saat kita jatuh cinta pun begitu. Tetapi, satu hal yang harus kita waspadai kala itu. Jangan sampai ketika kita lapar, kita gegabah mengambil keputusan. Lalu memakan apa saja yang ada, tidak perduli itu makanan syubhat, atau bahkan haram. Tentu, hal itu akan mencemari diri kita, dan rasa lapar yang miliki malah menjadi pengantar dosa.


✧༺♡༻✧

"Zayn… makan malam dulu, Nak!" teriak Ibu Zayn dari balik pintu kamar.

"Zayn tidak lapar, Bu. Ibu saja yang makan dahulu!" teriak Zayn.

Bayangan tentang Din kala itu tidak sekilap pun mau menghilang dari benak Zayn. Dia masih geram. Bayangkan saja, jika kalian dalam posisi Zayn.

"Seseorang selalu saja melihat hasil. Apakah mereka tidak tahu?! Bahwa proses jauh lebih menyakitkan dari pada semua itu!" Ia mengunci dirinya dalam kamar. Beberapa kali ibunya memanggil. Zayn sama sekali tidak memperdulikan itu.

Ia berusaha mengangkat kembali tubuhnya ke kasur, melemparkan sembarang semua barang sekolahnya; dasi, tas, sepatu. Zayn hanya ingin menghempaskan amarahnya bersama dengan terhempasnya tubuhnya di kasur nan empuk itu.

Seharusnya ia tidak marah, tidak pergi dari sana. Sungguh berlebihan jika hanya melihat Din berkenalan dengan orang lain Zayn begitu marah.

Bukankah ia juga sering begitu?; mencandai dan menggoda gadis-gadis selain Din? Apa haknya hingga melarang Din untuk melakukan hal itu.

Untuk adegan penyelamatan. Seharusnya Zayn bersyukur untuk itu, bukannya malah marah, coba saja jika tidak ada si wakil ketua OSIS itu yang datang menyelamatkan kepala Din. Mungkin sekarang Din sudah dirawat di rumah sakit, kepalanya dibebat perban. Apa ia tidak iba?

Amarah Zayn sedikit padam.

Teleponnya berdenting. Sebuah pesan masuk ke telepon selulernya.

"Mending, keluar aja Zayn, nongkrong sama kita!" Tulis temannya.

Zayn membacanya sekilas pesan itu, lantas hendak beranjak. Tetapi, urung. Zayn mengingat kembali ketika ia ikut-ikutan nimbrung pada perbincangan Din dan teman-temannya.

Percaya atau tidak, setiap perkumpulan dan pembicaraan yang sering terjadi, pasti juga berefek pada pribadi orang tersebut.

Sedangkan bergabung dalam obrolan Din, Fatma, dan Dila itu bukan hal buruk. Apalagi Din, ia selalu saja menyangkut pautkan topik yang dibicarakan dengan agama dan candaan.

Telepon Zayn kembali berdenting.

"Tempat biasa. Pinggir jalan, samping alun-alun kota." Imbuh temannya.

Sekarang bagaimana? Pikirkan dan hati Zayn sama sekali tidak sama. Satu condong ke kanan, satu ke kiri.

"Sial!" Ia mengumpat, yang akhirnya tetap—batal keluar kamar.

Zayn lebih menuruti hatinya untuk diam di rumah.

Lagian, pada musim hujan seperti sekarang, malam hari, keluar rumah pasti teramat dingin. Lebih baik ia tidur saja, berbalut selimut, bertemankan guling. Zayn merasa itu semua tampak akan lebih baik dibandingkan nongkrong tidak jelas di pinggir jalan.

"Jadi, kan, aku berteman dengan kalian, tuh, berarti kalian itu terpilih. Ya... Karena, kita tidak bisa serta-merta memilih seseorang menjadi sahabat kita. Namun, nantinya ia malah membawa kita ke jalan yang buruk. Benar seperti yang Rasulullah katakan, 'Kita adalah siapa sahabat kita'. Apabila sahabat kita berkualitas A. Tentu kita juga dapat dinilai orang lain memiliki kualitas A juga. Kalian, kan, orang-orang keren di kelas, ya siapa tahu aku jadi ikutan keren, ya, kan? Hahaha..."

Penjelasan dengan lelucon ringan Din itulah yang menghalau langkah Zayn untuk keluar.

"Benar kata dia, teman memang benar-benar dapat mempengaruhi kita. Lalu, aku ini sahabat macam apa? Masa' iya, aku yang sama Din ibarat kata minum aja udah gak balik sedotan. Cuma gara-gara sedikit permasalahan kemarin, sekarang harus jadi kutub Utara dan Selatan. Fuhh! Aku gak mau!

Sebenarnya aku niat berteman dengannya karena apa, sih?! Ayolah Zayn!…. Lupakan saja.... Susah, cari teman di zaman sekarang yang masih mau kasih masukan."


✧✧

Lihat selengkapnya